Apa Itu BPHTB Dan Cara Menghitungnya

Apa Itu BPHTB – Jika Anda pernah bertransaksi jual beli tanah atau bangunan, Anda mungkin sudah tidak asing dengan apa itu BPHTB. BPHTB merupakan singkatan dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Kenapa dinamai bea dan bukan pajak ini bukan tanpa alasan. Ada ciri khusus yang membedakan bea dan pajak.

Untuk BPHTB pembayaran pajak dilakukan lebih dulu daripada saat terutang. Misalnya saat membeli tanah bersertifikat kita harus membayar BPHTB terlebih dahulu sebelum terjadi transaksi atau akta dibuat dan ditandatangani.

Berikutnya frekuensi pembayaran bea terutang bisa dilakukan secara insidensial atau berkali-kali tanpa terikat waktu. Berbeda dengan pajak yang harus dibayar sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.

Baca juga: Biaya Balik Nama Sertifikat Tanah

Pengertian BPHTB

Definisi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ini dapat kita jumpai dalam UU No. 21 Tahun 1997 dan telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 (selanjutnya hanya disebut UU BPHTB). Dituliskan bahwa BPHTB adalah bea yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.

Saat warga negara memiliki perolehan hak atas tanah dan bangunan maka diwajibkan untuk membayar BPHTB. BPHTB juga sering disebut dengan istilah bea pembeli, jika perolehannya berdasarkan proses jual beli. Dikenakannya Hak Pengelolaan sebagai objek pajak karena penerima Hak Pengelolaan mendapatkan manfaat ekonomis dari tanah yang dikelolanya.

Subjek pajak yang wajib dikenakan BPHTB adalah orang pribadi maupun badan yang mendapat Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Berdasarkan aturan yang berlaku, tarif pajak yang ditetapkan oleh pemerintah adalah sebesar 5%.

Berdasarkan pasal 2 Undang-undang BPHTB, yang menjadi objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Sedangkan perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan mencakup:

  1. Jual beli;
  2. Tukar-menukar;
  3. Hibah;
  4. Hibah wasit;
  5. Waris;
  6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
  7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
  8. Penunjukan pembeli dalam lelang;
  9. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
  10. Penggabungan usaha;
  11. Peleburan Usaha;
  12. Pemekaran Usaha; dan
  13. Hadiah

Dari beberapa poin di atas, perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang sering terjadi di masyarakat adalah jual beli, tukar-menukar, hibah, hibah wasit dan waris.

Syarat Mengurus BPHTB

Ada beberapa syarat untuk mengurus BPHTB. Untuk jual-beli, peryaratannya adalah sebagai berikut:

  1. SSPD BPHTB
  2. Fotokopi SPPT PBB untuk tahun yang bersangkutan
  3. Fotokopi KTP Wajib Pajak
  4. Fotokopi STTS/ Struk ATM Bukti pembayaran PBB untuk 5 Tahun Terakhir (Untuk tahun 2013 hanya 3 tahun terakhir yaitu tahun 2011, 2012, dan 2013)
  5. Fotokopi Bukti Kepemilikan Tanah (Sertifikat, Akta Jual Beli, Letter C/ atau Girik)

Sedangkan untuk hibah, waris maupun jual beli waris, maka syaratnya adalah sebagai berikut:

  1. SSPD BPHTB
  2. Fotokopi SPPT PBB untuk tahun yang bersangkutan. Fungsinya untuk memeriksa kebenaran Data NJOP pada SSPD BPHTB.
  3. Fotokopi KTP Wajib Pajak
  4. Fotokopi STTS/Struk ATM Bukti pembayaran PBB untuk 5 Tahun Terakhir (Untuk tahun 2013 hanya 3 tahun terakhir yaitu tahun 2011, 2012, dan 2013). Gunanya untuk mempermudah melakukan penagihan, apabila masih ada piutang PBB karena biasanya pembeli tidak mau ditagih pajaknya sebelum tahun dialihkan.
  5. Fotokopi Bukti Kepemilikan Tanah (Sertifikat, Akta Jual Beli, Letter C/ atau Girik). Gunanya adalah untuk mengecek ukuran luas tanah, luas bangunan, tempat/ lokasi tanah dan atau bangunan, dan diketahui status tanah yang akan dialihkan.
  6. Fotokopi Surat Keterangan Waris atau Akta Hibah. Surat ini dibutuhkan untuk memberikan pengurangan pada setiap transaksi.
  7. Fotokopi Kartu Keluarga

BPHTB dalam Jual-Beli

Baik penjual dan pembeli akan dikenakan pajak untuk peralihan hak berupa jual beli. Untuk penjual dikenakan PPh atau Pajak Penghasilan. Sedangkan pembeli dikenakan BPHTB. BPHTB ini dihitung berdasarkan harga perolehan hak atau NPOP. Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) ini juga sering disebut nilai transaksi atau nilai kesepakatan harga antara pembeli dan penjual.

Nilai NPOP bisa saja lebih besar atau lebih kecil dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Ada banyak faktor yang mempengaruhi NPOP. Seperti perkembangan di suatu daerah yang sangat pesat dalam waktu singkat, sehingga membuat harga tanah meningkat dengan cepat. Untuk daerah ini nilai NPOP bisa lebih besar dari NJOP.

Sedangkan untuk daerah dengan nilai NPOP yang lebih rendah dari nilai NJOP contohnya adalah daerah yang direncanakan akan dijadikan tempat pembuangan sampah, lokasi yang berada di dekat saluran udara tegangan ekstra tinggi, lokasi yang berdekatan dengan area pemakaman, maupun daerah dengan potensi konflik atau sengketa.

Tarif BPHTB

Berdasarkan Perda No.18 Tahun 2010 Pasal 7 (1), besarnya pokok Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang terutang dapat dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam dasar pengenaan pajak setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).

Untuk diketahui, nilai NPOPTKP adalah Rp 60.000.000 untuk semua jenis perolehan hak atas tanah dan bangunan. Sedangkan untuk hak karena waris atau hibah sebesar Rp 300.000.000. Dengan catatan NPOPTKP diberikan sekali pada setiap wajib pajak dalam satu tahun.

Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP yang dipakai dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan, maka besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan NJOP setelah dikurangi NPOPTKP. PPh atas peralihan tanah dan bangunan adalah sebesar 5% dari NPOP atau NJOP.

Besarnya NPOPTKP berbeda di setiap daerah. Anda bisa mengetahui NPOPTKP ini ke kantor pajak atau Pertanahan maupun Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) setempat.

Sebagai tambahan, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016, besarnya Pajak Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a adalah sebesar:

  • 2,5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, selain pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa rumah sederhana atau rumah susun sederhana, yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
  • 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa rumah sederhana dan rumah susun sederhana, yang dilakukan oleh Wajib Pajak; 
  • 0% atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah

Baca juga: Cara Menghitung NJOP Jual Beli Rumah

Contoh Perhitungan BPHTB

Misalnya terjadi transaksi jual-beli sebidang tanah kosong di daerah Jakarta. Lalu diketahui data-data sebagai berikut:

Luas tanah: 2.000 m2

  • NJOP: 1.000.000 /meter
  • NJOPTKP Jakarta: Rp 80.000.000
  • Harga kesepakatan penjual dan pembeli: Rp 1.500.000 /meter
  • Nilai NPOP atau Nilai Transaksi: 2.000 x 1.500.000 = Rp 3.000.000.000

Sehingga besarnya PPh dan BPHTB bisa dihitung seperti berikut:

PPh = 5% x NPOP = 5% x Rp 3.000.000.000 = Rp 150.000.000

BPHTB = 5% x (NPOP – NPOPTKP) = 5% x (Rp 3.000.000.000 – Rp 80.000.000) = Rp 110.000.000

Demikian hal-hal seputar BPHTB yang dapat kami sampaikan untuk Anda. Semoga bisa menjadi wawasan tambahan untuk Anda. Terutama yang berniat ingin membeli tanah atau rumah dalam waktu dekat.

You might also like