
Lembaga swadaya masyarakat (LSM) secara vokal menyerukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Keadilan Iklim. Desakan ini didasari keyakinan bahwa regulasi tersebut fundamental dalam memastikan transisi energi yang berkeadilan, menghindari potensi dampak negatif yang dapat memicu ketidaksetaraan dan kerugian bagi masyarakat.
Sylvi Sabrina, seorang peneliti dari Indonesia Center Environment Law (ICEL), menyoroti bahwa meski Indonesia telah memiliki setidaknya 13 regulasi terkait transisi energi, kerangka hukum yang ada saat ini belum sepenuhnya mengakomodasi kompleksitas isu ini yang berdampak pada berbagai sektor kehidupan. ICEL menilai bahwa dibutuhkan instrumen yang lebih komprehensif.
Konsep transisi energi yang adil sendiri didefinisikan sebagai sebuah proses fundamental yang mengedepankan prinsip ‘tak ada yang ditinggalkan’. Dalam konteks inilah, Rancangan Undang-Undang Keadilan Iklim dipandang sebagai instrumen vital. “RUU ini bisa menjadi instrumen hukum yang utama untuk transisi energi yang adil,” tegas Sylvi dalam acara Kick-off Local Conference of Youth di Jakarta, Jumat (11/7).
Lebih dari sekadar pencapaian target penurunan emisi CO2, regulasi ini juga krusial dalam memperlihatkan komitmen nyata Indonesia di kancah global dalam penanganan perubahan iklim. Sylvi menambahkan bahwa RUU ini secara spesifik akan membahas isu ketimpangan sosial yang kerap muncul dalam proses transisi.
Kabar baiknya, Rancangan Undang-Undang Keadilan Iklim, yang juga dikenal sebagai RUU Pengelolaan Perubahan Iklim, telah resmi masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Ini menandakan langkah maju yang signifikan menuju pembentukan payung hukum yang komprehensif.
Transisi Energi Tak Berkeadilan bisa Ciptakan Pengangguran
Sylvi memaparkan, timnya telah mengidentifikasi sejumlah indikasi ketidakadilan yang nyata dalam proses transisi energi yang sedang berjalan. Salah satu contoh paling mencolok terjadi di sekitar area Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang direncanakan akan segera dipensiunkan.
Sebagai ilustrasi konkret, nasib para pekerja di PLTU Cirebon yang akan dipensiunkan menjadi perhatian utama. Meskipun informasi mengenai penonaktifan PLTU telah tersebar, belum ada inisiatif konkret dari pihak perusahaan untuk menyediakan program pelatihan keahlian baru bagi mereka. Ketiadaan persiapan ini menimbulkan kekhawatiran besar akan munculnya gelombang pengangguran massal dan hilangnya mata pencarian utama, sehingga program alih profesi menjadi sangat esensial agar mereka siap menghadapi perubahan kehidupan.
Indikasi ketidakadilan transisi energi lainnya terlihat pada proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur, yang direncanakan melintasi Kabupaten Gayo Lues, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang. PLTA berkapasitas 443 MW ini akan memerlukan pembangunan bendungan seluas 193,5 hektare, diperkirakan akan menenggelamkan seluruh Desa Lesten di Gayo Lues. Mirisnya, warga terdampak relokasi mengaku masih minim informasi mengenai lokasi baru, proses pemindahan, serta hak dan fasilitas yang seharusnya mereka terima. Sylvi juga menyoroti kelemahan dalam dokumen AMDAL yang hanya fokus pada mitigasi konflik satwa liar melalui penggiringan, tanpa pendekatan perlindungan yang memadai. Padahal, area tersebut merupakan habitat vital bagi spesies dilindungi seperti orangutan, gajah, dan harimau sumatra, mengancam keseimbangan lingkungan dan keanekaragaman hayati.
Kasus PLTA Poso di Sulawesi Tengah juga memperkuat argumen tentang transisi energi yang tidak berkeadilan. Proyek ini berpotensi memicu konflik serius dengan masyarakat adat setempat. Dampak yang telah terlihat meliputi perampasan tanah, timbulnya konflik antarwarga, skema ganti rugi yang tidak adil, kerusakan lingkungan yang parah, dan bahkan peningkatan tingkat kemiskinan di kalangan komunitas terdampak.
Dari sudut pandang lingkungan, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Sekar Banjaran Aji, menegaskan bahwa transisi energi juga memiliki implikasi signifikan terhadap ekosistem. Berdasarkan pemantauan Greenpeace Indonesia, terlihat jelas bahwa pemanfaatan energi dan dampak yang ditimbulkannya tidak merata di setiap lapisan masyarakat, seringkali memperparah ketimpangan yang ada.
Oleh karena itu, Sekar menekankan urgensi partisipasi masyarakat yang aktif dan krusial dalam mewujudkan transisi energi yang adil. Masyarakat tidak boleh pasif, melainkan harus proaktif dalam menyuarakan kepentingan dan hak-hak mereka. “Kalau kita tidak berusaha merebut mikrofonnya, ya selamanya akan jauh dari kita dan kita akan kehilangan suara kita,” pungkas Sekar, menggarisbawahi pentingnya advokasi kolektif.