
Melangkah maju dengan suara yang semakin nyaring, para menteri keuangan dari negara-negara anggota BRICS secara tegas menyerukan reformasi fundamental terhadap Dana Moneter Internasional (IMF). Pernyataan bersama yang dirilis pada Sabtu (5/7) di Rio de Janeiro, Brasil, menandai sebuah momen historis: ini adalah kali pertama kelompok kekuatan ekonomi tersebut menyepakati posisi kolektif terkait perubahan sistematis di IMF, termasuk perombakan hak suara dan pengakhiran tradisi kepemimpinan Eropa yang telah mengakar.
Menurut laporan Reuters pada Minggu (6/7), inti dari tuntutan BRICS adalah realokasi kuota IMF. Anggota kelompok ini mendesak agar sistem kuota disesuaikan dengan kekuatan ekonomi aktual dan daya beli (purchasing power parity) setiap negara. Mereka menegaskan bahwa alokasi baru ini harus secara akurat merefleksikan posisi relatif anggota dalam lanskap ekonomi global, sembari tetap menjaga dan melindungi hak suara negara-negara termiskin. Para menteri secara eksplisit menyatakan dalam komunike mereka: “Reformasi kuota harus mencerminkan posisi relatif anggota dalam ekonomi global, sambil tetap melindungi kuota negara-negara termiskin.”
Pernyataan tersebut juga menggarisbawahi urgensi pembentukan formula baru untuk menghitung output ekonomi dan daya beli secara riil, termasuk nilai relatif mata uang. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa sistem kuota IMF benar-benar mencerminkan realitas ekonomi negara-negara berkembang dan berpenghasilan rendah. Seorang pejabat Brasil yang terlibat dalam negosiasi mengungkapkan bahwa formula inovatif ini secara spesifik dirancang untuk memperbesar porsi negara-negara berkembang dalam struktur pengambilan keputusan lembaga keuangan global tersebut.
Seruan ambisius untuk reformasi IMF ini digaungkan menjelang pertemuan tingkat tinggi BRICS di Rio de Janeiro, yang menjadi forum pertama setelah ekspansi signifikan kelompok tersebut tahun lalu. Kini, BRICS tidak hanya beranggotakan Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, tetapi juga telah menyambut Mesir, Ethiopia, Indonesia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Perluasan keanggotaan ini secara substansial memperkuat posisi diplomatik BRICS sebagai suara kolektif negara-negara Global South, siap menantang dominasi tradisional Barat dalam institusi multilateral.
Tidak hanya soal kuota, para menteri BRICS juga secara terang-terangan mengkritik sistem pemilihan pemimpin IMF yang selama ini dianggap usang. Mereka menyoroti “gentlemen’s agreement” peninggalan pasca-Perang Dunia II yang secara tradisional menempatkan perwakilan Eropa sebagai Direktur Pelaksana IMF dan perwakilan Amerika Serikat sebagai Presiden Bank Dunia. Menurut mereka, kesepakatan ini sudah tidak relevan dengan tatanan global kontemporer. Pernyataan tersebut dengan tegas menyatakan: “Dengan tetap menghormati proses seleksi berbasis merit, representasi regional harus ditingkatkan dalam kepemimpinan IMF, mengakhiri kesepakatan usang era pasca-Perang Dunia II yang tidak lagi mencerminkan realitas dunia saat ini.”
Di luar isu reformasi IMF terkait kuota dan kepemimpinan IMF, BRICS juga aktif membahas inisiatif penting lainnya: pembentukan mekanisme penjaminan (guarantee mechanism) yang akan didukung oleh New Development Bank (NDB). Sebagai bank pembangunan multilateral yang didanai oleh negara-negara anggota BRICS, NDB diharapkan dapat berperan krusial dalam menurunkan biaya pembiayaan dan mendorong peningkatan investasi di negara-negara berkembang.
Dengan posisi kolektif yang kini semakin solid dan keanggotaan yang diperluas, BRICS terus menunjukkan tekadnya untuk menyeimbangkan kembali tatanan ekonomi global yang selama ini kerap dinilai terlalu condong pada kepentingan negara-negara maju. Bagi BRICS, reformasi IMF bukan sekadar perubahan prosedural, melainkan langkah esensial menuju terciptanya sistem keuangan global yang jauh lebih inklusif dan representatif bagi seluruh bangsa.