
Fenomena lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang drastis di sejumlah daerah tengah menjadi sorotan tajam, memicu kekhawatiran akan adanya “jalan pintas” fiskal. Direktur Pelaksana Paramadina Public Policy Institute, Ahmad Khoirul Umam, mengidentifikasi kebijakan ini sebagai pilihan instan yang kurang visioner, mengesampingkan potensi optimalisasi ekonomi lokal untuk kesejahteraan masyarakat.
Menurut Umam, pendekatan ini mencerminkan pola pikir yang dangkal dan pragmatis. Ia berpandangan bahwa strategi mendongkrak PBB-P2 hingga ratusan persen merupakan cara mudah yang dipilih daerah, alih-alih berinvestasi dalam pengembangan potensi ekonomi berbasis lokal yang lebih berkelanjutan.
Umam menjelaskan, setidaknya ada tiga pemicu utama di balik kebijakan penaikan pajak yang ekstrem ini. Faktor pertama adalah langkah efisiensi kebijakan negara melalui pemotongan dana transfer ke daerah hingga 50 persen. Pemangkasan anggaran yang signifikan ini, menurutnya, telah memaksa pemerintah daerah untuk secara mendesak mencari sumber penerimaan baru. Namun, ia menyayangkan bahwa solusi yang diambil terkesan dangkal dan tidak inovatif.
Selanjutnya, faktor kedua berkaitan dengan derasnya arus politik transaksional dan tingginya biaya politik dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Kondisi ini mendorong kepala daerah terpilih untuk segera menemukan sumber pembiayaan cepat guna menutup ‘modal’ politik pasca-pemilihan, seringkali tanpa pertimbangan jangka panjang.
Terakhir, Umam menyoroti adanya kecenderungan kepala daerah yang kurang memiliki visi untuk menghadirkan model pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal. Hal ini memicu mereka untuk menciptakan instrumen fiskal instan yang pada akhirnya justru membebani masyarakat secara tidak proporsional.
Dampak dari kebijakan instan ini telah nyata terlihat di sejumlah daerah. Sebagai contoh, kebijakan Pemerintah Kabupaten Pati yang menaikkan PBB hingga 250 persen berbuntut panjang, memicu demonstrasi massal dan tuntutan mundurnya Bupati Pati, Sudewo, dari jabatannya.
Belajar dari kasus Pati, Bone, dan daerah-daerah lain, Umam menegaskan bahwa kebijakan penaikan pajak lokal secara ekstrem tanpa mitigasi yang memadai dan partisipasi publik yang luas sangat rentan menciptakan instabilitas sosial-politik di tingkat lokal. Ia juga mengingatkan bahwa skema peningkatan pajak lokal ini berpotensi menjadi celah baru bagi praktik korupsi melalui manipulasi laporan pajak daerah.
Meski demikian, tudingan bahwa kurangnya transfer dana ke daerah menjadi alasan utama penaikan tarif PBB-P2 dibantah oleh Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi. Dalam keterangannya di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada 13 Agustus lalu, Prasetyo menegaskan bahwa keputusan untuk menaikkan PBB sepenuhnya merupakan kebijakan otonom setiap pemerintah daerah, dan bukan disebabkan oleh kekurangan anggaran daerah seperti yang disangkakan.
Artikel ini turut dikontribusikan oleh Eka Yudha Saputra.
Pilihan Editor: Siasat Kepala Daerah Mengakali Pemangkasan Anggaran