
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) kini tengah menggagas pembahasan serius terkait potensi regulasi layanan Voice over Internet Protocol (VoIP), mencakup platform populer seperti WhatsApp Call dan Video Call, Skype, Zoom, hingga Google Meet. Inisiatif ini menandai langkah strategis pemerintah dalam meninjau ulang lanskap komunikasi digital di Indonesia.
Direktur Strategi dan Kebijakan Infrastruktur Digital Komdigi, Denny Setiawan, menegaskan bahwa wacana ini masih dalam tahap diskusi awal. Tujuan utama dari kajian ini adalah untuk menemukan titik keseimbangan yang adil antara kebutuhan masyarakat akan layanan komunikasi yang mudah diakses dan terjangkau, dengan beban investasi besar yang ditanggung oleh para operator seluler dalam membangun dan memelihara infrastruktur jaringan.
Denny menjelaskan, “Operator seluler membangun kapasitas jaringan yang masif, namun mereka tidak mendapatkan kontribusi finansial apa pun dari penyedia layanan OTT (Over The Top). Padahal, layanan seperti video call dan streaming membutuhkan bandwidth yang sangat tinggi.” Ia menambahkan, bandwidth sendiri didefinisikan sebagai kapasitas maksimum suatu jalur komunikasi untuk mentransfer data dalam satuan waktu tertentu, yang umumnya diukur dalam bit per detik (bps) atau turunannya seperti Mbps atau Gbps. Kajian ini diharapkan dapat membentuk mekanisme kontribusi yang adil dari penyedia layanan OTT, yaitu layanan digital yang disampaikan langsung ke pengguna melalui internet tanpa melewati jaringan atau kontrol langsung dari operator telekomunikasi tradisional.
Menurut Denny, terdapat ketidakseimbangan yang signifikan antara pihak penyedia infrastruktur telekomunikasi dan penyedia layanan VoIP yang beroperasi sebagai OTT. Para operator telah menginvestasikan dana besar untuk memperluas jangkauan jaringan internet ke berbagai pelosok negeri, sementara platform seperti WhatsApp dan sejenisnya tidak memberikan kontribusi langsung terhadap pembangunan infrastruktur tersebut. “Tujuannya adalah agar kedua belah pihak sama-sama diuntungkan. Saat ini, belum ada kontribusi dari teman-teman OTT, padahal yang bersusah payah membangun investasi besar itu adalah operator seluler,” ujarnya, menekankan pentingnya kolaborasi yang lebih seimbang.
Komdigi Kaji Internet Premium untuk WhatsApp Call
Salah satu referensi yang menjadi perhatian dalam diskusi ini adalah praktik yang diterapkan di sejumlah negara lain, seperti Uni Emirat Arab (UEA) dan Arab Saudi. Di kedua negara tersebut, pengguna diwajibkan untuk berlangganan layanan VoIP premium agar dapat menggunakan fitur WhatsApp Call dan video call. Layanan VoIP premium ini tidak hanya memungkinkan panggilan, tetapi sering kali dilengkapi dengan beragam fasilitas tambahan, seperti transkripsi dan perekaman panggilan, serta integrasi dengan sistem Manajemen Hubungan Pelanggan (CRM) dan Sistem Pelacakan Pelamar (ATS) untuk segmen bisnis. Contoh operator lokal yang menyediakan layanan semacam ini di UEA adalah Etisalat atau DU.
Pembatasan layanan suara dan video WhatsApp di UEA, menurut Otoritas Regulasi Telekomunikasi UEA (TDRA), didasari oleh alasan regulasi dan keamanan. Sistem enkripsi ujung ke ujung (end-to-end encryption) yang diterapkan WhatsApp menimbulkan kekhawatiran bagi Pemerintah UEA terkait potensi penyalahgunaan saluran komunikasi untuk aktivitas ilegal, termasuk kejahatan dan terorisme. Perlu diketahui, TDRA merupakan badan hukum yang bertanggung jawab penuh dalam mengatur sektor telekomunikasi dan transformasi digital bagi entitas pemerintah di UEA.
Meski demikian, Denny menyatakan bahwa jika opsi pembatasan layanan dasar telekomunikasi pada aplikasi seperti WhatsApp dianggap tidak memungkinkan, pemerintah akan mempertimbangkan penerapan kewajiban Quality of Service (QoS) bagi para penyedia layanan OTT. Langkah ini bertujuan untuk memastikan peningkatan kualitas layanan yang diterima pengguna. Quality of Service sendiri adalah seperangkat teknologi dan mekanisme canggih yang dirancang untuk mengelola lalu lintas data dalam jaringan komputer, dengan tujuan memastikan pengiriman data yang efisien dan andal, sekaligus memprioritaskan jenis data tertentu. Dengan adanya QoS, kinerja aplikasi krusial seperti panggilan video atau streaming dapat tetap terjaga optimal, mengurangi masalah umum seperti packet loss, latency, dan jitter, bahkan ketika jaringan sedang sibuk, sehingga penggunaan bandwidth menjadi lebih efisien.
Operator Seluler Dukung Kajian Internet Premium untuk WhatsApp Call
Di sisi lain, Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) melalui Direktur Eksekutifnya, Marwan O. Baasir, menyambut baik dan mendukung kajian ini. Marwan menilai bahwa sudah saatnya ada model bisnis yang lebih berkeadilan antara penyedia layanan OTT dan operator seluler. Ia mencontohkan, layanan gratis seperti WhatsApp Call seringkali tidak dapat menjamin kualitas layanan, dan pengguna kerap tidak memiliki saluran protes yang jelas saat terjadi gangguan.
“Jika layanan berbayar diterapkan, pengguna akan mendapatkan jaminan kualitas layanan dan kejelasan penanganan jika terjadi gangguan. Dengan begitu, penyedia OTT juga akan memiliki tanggung jawab yang lebih besar,” tegas Marwan. Ia menambahkan, model bisnis inovatif seperti paket kuota khusus bisa menjadi salah satu solusi alternatif. “Nantinya bisa dalam bentuk tarif langsung atau bagian dari kuota yang sudah ada. Namun, yang paling esensial adalah adanya jaminan kualitas layanan,” pungkasnya, menegaskan komitmen untuk pengalaman pengguna yang lebih baik dan ekosistem digital yang lebih seimbang.