WALHI Riau Balas Klaim Kepala BP Batam: Proyek Rempang Memanas!

WALHI Riau dengan tegas menyuarakan kekhawatirannya menyusul pemaparan Kepala BP Batam, Amsakar Achmad, terkait perkembangan proyek Rempang Eco City di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Pernyataan Amsakar sebelumnya disampaikan dalam rapat dengar pendapat di Komisi VI DPR, Senayan, Jakarta, pada Senin, 15 September 2025.

Menurut Manajer Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim WALHI Riau, Ahlul Fadli, intimidasi terhadap warga di Pulau Rempang masih terus terjadi hingga saat ini. Ia menyoroti insiden pada Agustus 2025 lalu, di mana dua warga Tanjung Banun dipaksa untuk meninggalkan rumah mereka. Pemindahan paksa ini dilakukan untuk pembangunan perumahan relokasi yang disebutkan oleh Amsakar. Mayoritas warga lokal hingga kini masih menunjukkan penolakan keras terhadap rencana relokasi tersebut. Oleh karena itu, WALHI mendesak BP Batam untuk membuka data publik mengenai warga yang disebut-sebut telah menerima relokasi, karena diduga mereka bukanlah penduduk asli Rempang. WALHI dan LBH pun mendesak DPR agar memihak kepada suara masyarakat Rempang.

Ahlul Fadli juga menegaskan bahwa pendekatan BP Batam dalam proses pembangunan rumah relokasi proyek Rempang Eco City sejak awal telah bertentangan dengan prinsip partisipasi masyarakat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) Pasal 2 ayat 1, yang mengamanatkan pelibatan aktif masyarakat dalam perencanaan pembangunan. “Sejak awal proyek ini tidak memberikan ruang partisipasi masyarakat dalam mengambil keputusan pada proses perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi,” ujar Ahlul Fadli dalam keterangan tertulisnya pada Jumat, 19 September 2025.

Sementara itu, warga Pulau Rempang, Rani, dengan lantang menyatakan tuntutan utama mereka adalah pengakuan legalitas kampung tua yang telah mereka perjuangkan turun-temurun. “Yang kami inginkan itu diakui kampung kami menjadi kampung tua, supaya kami tinggal di sini aman,” katanya. Senada dengan Rani, Ketua Aliansi Masyarakat Rempang Galang Bersatu (Amar GB) Ishaka, atau yang akrab disapa Saka, dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa solusi konflik Rempang adalah pengakuan legalitas kampung tua oleh negara. Tanpa itu, konflik diprediksi akan terus berulang. Saka menambahkan, warga sebenarnya tidak sulit menerima program pemerintah, namun trauma masa lalu telah membentuk persepsi mereka. “Ujung-ujungnya, kami warga, akan selalu ditabrakkan dengan pihak aparat,” ungkapnya. Warga Rempang yang menolak relokasi terus menyuarakan permintaan pengakuan kampung tua tersebut, sembari juga meminta agar pembangunan yang berlangsung di Rempang tidak merusak lingkungan darat dan laut mereka yang menjadi sumber penghidupan.

Di sisi lain, Kepala BP Batam Amsakar Achmad sebelumnya menyatakan fokus pemerintah adalah membangun kawasan rumah relokasi di Kampung Tanjung Banun, Pulau Rempang. Tanjung Banun, yang berjarak sekitar 20 menit dari lokasi utama proyek Rempang Eco City, dikembangkan sebagai lokasi relokasi bagi warga yang bersedia pindah. “Rencana pengembangan Tanjung Banun sudah lanjut,” kata Amsakar. Ia mengklaim 304 rumah relokasi telah selesai dibangun dan 200 unit tambahan akan menyusul. Berbagai kementerian dan lembaga turut mendukung upaya BP Batam, antara lain Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang membangun dermaga, serta Kementerian Transmigrasi yang menggarap 200 unit rumah relokasi. BP Batam sendiri, kata Amsakar, akan membangun fasilitas publik seperti SD, SMP, SMA, masjid, kantor camat, polsek, koramil, dan kantor lurah, termasuk kantor KUA.

Amsakar melanjutkan, lokasi Tanjung Banun akan dilengkapi dengan fasilitas yang lengkap, dan masyarakat yang setuju relokasi akan diberikan lahan seluas 500 meter persegi. “Dengan catatan bagi yang mau. Kalau tidak mau, tidak ada persoalan,” ucapnya, menekankan opsi sukarela dalam program ini. Amsakar melihat kebijakan relokasi ini sebagai upaya untuk melegitimasi status kepemilikan tanah warga Rempang. Ia berpendapat bahwa di kampung-kampung lama, warga tidak memiliki status legalitas tanah berupa Sertifikat Hak Milik (SHM). “Saya menganggap kebijakan ini menghitam-putihkan status kepemilikan warga. Kalau tinggal di tempat sebelumnya tidak akan dapat SHM. Pemerintah menyiapkan kebijakan yang ada pengakuan terhadap legalitas lahan yang ditempati warga,” jelas Amsakar.

Menurut Amsakar, prioritas BP Batam saat ini adalah menuntaskan pembangunan rumah di kawasan relokasi Rempang Eco City di Kampung Tanjung Banun. Dengan selesainya 200 rumah tambahan, ia percaya sebagian besar persoalan di masa depan akan teratasi. “Kalau tidak, kita menyisakan persoalan masa depan, pak. Setiap investor masuk kembali kita beradu, kita ingin ini selesai. Langkah yang kita lakukan sekarang tindak lanjut apa yang menjadi arahan Presiden, tidak ada namanya mematok, gas air mata, tidak ada TNI-Polri,” tegasnya, menampik tudingan mengenai pendekatan represif. Amsakar juga mengklaim tidak ada tindakan represif selama kepemimpinannya. “Kalau saya, misalnya, kemarin saya bicara A, sekarang B, saya tidak sanggup lagi RDP dengan Komisi VI ini,” tutupnya.

Pilihan Editor: Gema Takbir Menolak Penggusuran di Pulau Rempang

You might also like