Rupiah Loyo: The Fed & Dana Asing Jadi Biang Kerok?


JAKARTA, KOMPAS.com – Nilai tukar rupiah mengalami pelemahan signifikan sepanjang pekan lalu, bahkan sempat menyentuh level Rp 16.700 per dollar AS. Tekanan terhadap mata uang domestik ini bersumber dari kombinasi kompleks antara dinamika ekonomi global dan faktor-faktor internal yang saling bertumpuk.

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menjelaskan bahwa dari sisi global, pemicu utama datang dari Amerika Serikat. Revisi data pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) AS kuartal II-2025 ke angka 3,8 persen, ditambah dengan belanja rumah tangga yang tetap kuat, telah membuat pasar menggeser ekspektasi terkait pemangkasan suku bunga agresif oleh bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed). Kondisi ini secara otomatis memperkuat posisi dollar AS.

“Dolar AS menguat secara luas, imbal hasil US Treasury naik, dan sentimen risiko terhadap aset-aset negara berkembang melemah. Dinamika ini tercermin pada penguatan indeks dolar setelah rilis data tersebut serta fokus pasar yang bergeser ke rilis ketenagakerjaan AS pekan ini,” terang Josua kepada Kompas.com, Senin (29/9/2025). Ia menambahkan bahwa ketidakpastian mengenai tarif baru AS pada beberapa produk juga turut menekan mata uang Asia, mendorong arus dana global beralih ke aset berdenominasi dollar AS.

Baca juga: Rupiah Tembus Rp 16.750 per Dollar AS, Investor Asing Tarik Modal dari SBN

Sementara itu, dari ranah domestik, tekanan pada nilai tukar rupiah muncul akibat keluarnya dana portofolio asing dari instrumen investasi seperti obligasi dan saham. Situasi ini diperparah dengan kenaikan premi risiko Indonesia di tengah perdebatan hangat seputar arah kebijakan fiskal dan prioritas ekonomi yang akan diusung oleh pemerintahan baru.

Josua mengamati bahwa data harian menunjukkan adanya penjualan bersih oleh investor asing di pasar Surat Berharga Negara (SBN) dan pasar saham. Akibatnya, rupiah mencatatkan pelemahan sekitar 0,9 persen sepanjang pekan lalu. Analisis kami menyoroti bahwa ketidakpastian fiskal dan sinyal kebijakan yang cenderung pro-pertumbuhan namun berisiko bagi stabilitas nilai tukar telah menaikkan premi risiko Indonesia. “Kondisi ini membuat pasangan USD/IDR cenderung bertahan di atas level Rp 16.500 tanpa adanya kejelasan kebijakan yang lebih kuat,” tegas Josua.

Lebih lanjut, kenaikan imbal hasil SBN tenor acuan juga turut menyempitkan diferensial imbal hasil riil terhadap AS, sehingga mengurangi daya tarik strategi carry trade yang sebelumnya menguntungkan bagi investor.

Baca juga: Purbaya Yakin Tekanan Rupiah Akan Reda, Awal Pekan Depan Mulai Menguat

Mengakhiri pekan lalu, data dari Bloomberg mencatat rupiah di pasar spot ditutup pada level Rp 16.738 per dollar AS pada Jumat (26/9/2025) pukul 15.18 WIB. Angka ini menunjukkan penguatan tipis 11 poin atau 0,07 persen dibandingkan penutupan sebelumnya yang berada di Rp 16.749 per dollar AS. Namun, Kurs tengah Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) menunjukkan pergerakan yang berbeda. Rupiah berada di posisi Rp 16.775 per dollar AS, lebih lemah dibandingkan Kamis (25/9/2025) yang tercatat Rp 16.752 per dollar AS.

You might also like