
HargaPer.com – Murah &Terbaik – , Jakarta – Bursa Efek Indonesia (BEI) secara tegas memastikan bahwa PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) telah memenuhi seluruh kriteria untuk dikeluarkan dari daftar pencatatan saham atau delisting. Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna, yang menegaskan bahwa perusahaan tekstil yang dahulu menjadi simbol kebanggaan industri nasional ini kini telah memenuhi syarat untuk proses delisting.
Nyoman lebih lanjut menjelaskan bahwa saat ini BEI masih menunggu penyelesaian proses likuidasi yang sedang dijalankan oleh kurator yang bertanggung jawab atas pengelolaan PT Sritex. “Proses Sritex sedang dalam tahap penyelesaian. Jadi, kami menunggu proses tersebut rampung. Secara hukum, terdapat prioritas dalam proses penyelesaian, sehingga kami akan mengikuti alur penyelesaian tersebut,” ungkap Nyoman, seperti yang dikutip dari Antara, Selasa, 8 Juli 2025.
Dampak Delisting bagi Pemegang Saham
Delisting adalah sebuah proses di mana saham suatu perusahaan dihapus dari daftar pencatatan dan secara resmi tidak lagi diperdagangkan di BEI. Merujuk pada penjelasan Investopedia, dampak delisting sangat bervariasi tergantung pada jenisnya. Apabila sebuah perusahaan mengalami delisting secara sukarela, umumnya para pemegang saham akan menerima pembayaran tunai sebagai bentuk pembelian kembali saham, atau diberikan opsi untuk menukarkan saham mereka dengan saham dari perusahaan yang mengakuisisi. Namun, jika delisting dilakukan secara paksa, investor hanya memiliki pilihan untuk mencari pembeli secara mandiri di pasar atau tetap memegang saham perusahaan yang telah dicabut pencatatannya dari bursa.
Saham yang telah mengalami delisting tidak serta-merta lenyap, namun jauh lebih sulit untuk diperdagangkan. Setelah keluar dari bursa resmi, perdagangan saham hanya bisa dilakukan melalui pasar over-the-counter (OTC). Ini adalah sebuah arena perdagangan dengan likuiditas yang sangat rendah serta akses terbatas, di mana biaya transaksi cenderung lebih tinggi, dan selisih antara harga jual dan beli (spread) juga berpotensi melebar.
Delisting paksa juga menimbulkan tantangan serius lainnya, terutama karena pengawasan terhadap saham menjadi semakin longgar. Di luar bursa resmi, perusahaan tidak lagi diwajibkan untuk menyampaikan laporan rutin atau melakukan keterbukaan informasi yang transparan dan memadai. Kondisi ini secara signifikan menyulitkan pemegang saham untuk mengikuti perkembangan bisnis perusahaan secara transparan, meningkatkan risiko ketidakpastian.
Bagi pemegang saham yang sahamnya sudah mengalami delisting, langkah selanjutnya sangat bergantung pada keyakinan mereka terhadap prospek perusahaan serta kesiapan menghadapi pasar yang lebih terbatas dan kurang likuid. Meskipun saham masih bisa dijual, peluang untuk menemukan pembeli kian menipis. Perdagangan di pasar OTC biasanya sepi, jumlah pembeli sedikit, dan harga yang ditawarkan cenderung lebih rendah. Bahkan, tidak jarang saham hanya dapat diperjualbelikan melalui kesepakatan khusus antara pihak-pihak tertentu, menunjukkan betapa terbatasnya opsi yang tersedia.
Myesha Fatina Rachman dan Mega Putri Mahadewi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: APBN Makin Berat, Subsidi Listrik Kian Bengkak