
JAKARTA, KOMPAS.com – Bank Indonesia (BI) dan pemerintah telah menginisiasi skema berbagi beban atau burden sharing untuk mendanai dua program prioritas nasional yang krusial: pengembangan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih dan program perumahan rakyat. Langkah strategis ini bertujuan untuk meringankan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sekaligus memastikan keberlanjutan proyek-proyek vital tersebut.
Merespons kekhawatiran publik yang meluas, Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, dengan tegas menyatakan bahwa pelaksanaan skema burden sharing ini tidak akan melibatkan pencetakan uang baru oleh bank sentral. “BI tidak mencetak uang baru,” pungkasnya kepada Kompas.com, pada Kamis (5/9/2025), menekankan komitmen BI untuk menjaga stabilitas moneter.
Ramdan menjelaskan lebih lanjut mekanisme burden sharing ini. Skema tersebut melibatkan pembagian rata biaya bunga yang timbul dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), setelah dikurangi dengan penerimaan hasil penempatan dana pemerintah untuk kedua program tersebut di berbagai lembaga keuangan domestik. Secara teknis, pembagian beban ini direalisasikan melalui pemberian tambahan bunga pada rekening pemerintah yang berada di BI. Ia menegaskan, keputusan mengenai besaran tambahan beban bunga oleh BI kepada pemerintah senantiasa selaras dengan kerangka kebijakan moneter, demi menjaga stabilitas ekonomi, menciptakan ruang fiskal yang lebih luas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, serta meringankan beban yang dipikul oleh masyarakat.
Kesepakatan penting terkait burden sharing ini pertama kali diumumkan oleh Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam Rapat Kerja bersama Komisi IV DPD RI pada Selasa (2/9/2025). Kala itu, Perry memaparkan bahwa skema ini akan berpusat pada pembagian beban bunga atas penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang dialokasikan untuk membiayai program-program prioritas pemerintah. Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah mencapai kesepakatan krusial untuk menanggung beban bunga SBN ini dengan porsi seimbang, yakni 50:50. Implementasi skema ini dipercaya mampu mereduksi separuh biaya bunga yang sebelumnya sepenuhnya menjadi tanggungan APBN, sehingga memberikan kelonggaran fiskal yang signifikan.
Dalam detail pembagian beban bunga, BI dan Kemenkeu masing-masing akan menanggung sebesar 2,9 persen untuk pendanaan program ambisius 3 juta rumah. Sementara itu, untuk program Kopdes Merah Putih, kedua institusi sepakat menanggung beban bunga sebesar 2,15 persen secara proporsional. Perry Warjiyo lebih lanjut menjelaskan formulasi dasarnya: “Formulanya sebenarnya bunga SBN 10 tahun dikurangi hasil penempatan pemerintah di perbankan. Kemudian sisanya itu dibagi dua.” Penjelasan ini memberikan gambaran konkret tentang perhitungan yang mendasari pembagian beban tersebut.
Meskipun demikian, pengumuman skema burden sharing ini sontak memicu gelombang kekhawatiran dari berbagai kalangan. Banyak pihak cemas bahwa kebutuhan anggaran yang sangat besar untuk program-program prioritas pemerintah pada akhirnya akan memaksa BI untuk mencetak uang baru dalam skala besar. Jika skenario ini terjadi, dikhawatirkan akan memicu lonjakan inflasi yang signifikan dan berujung pada pelemahan nilai tukar rupiah, mengancam stabilitas ekonomi nasional.
Kendati BI telah memberikan penegasan, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, memiliki pandangan berbeda. Ia menilai strategi burden sharing antara Bank Indonesia dan pemerintah berpotensi besar mendorong bank sentral untuk mencetak uang baru pada akhirnya. Menurut Huda, BI kemungkinan akan mengoptimalkan kas internalnya terlebih dahulu untuk mengakuisisi SBN. Namun, jika cadangan dana tersebut tidak memadai, opsi yang paling realistis adalah menambah likuiditas di pasar melalui pencetakan uang baru. “Jadi BI membeli SBN dengan kas yang ada atau mencetak uang, sehingga likuiditas di masyarakat bisa terjaga. Tapi cara membeli SBN-nya ini nampaknya dengan mencetak uang baru setelah kas BI habis. Nampaknya sih akan mencetak uang ya,” ungkap Huda, menyiratkan potensi skenario tersebut.
Di sisi lain, Staf Ekonomi Bank Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, menawarkan perspektif yang lebih optimis. Menurutnya, pencetakan uang baru bukanlah skenario utama atau otomatis, melainkan sangat bergantung pada kondisi likuiditas yang dimiliki BI. “Pencetakan uang baru itu kalau misalkan kondisinya adalah BI tidak memiliki likuiditas. Tapi kalau misalkan likuiditasnya masih ada, berlimpah, ya tidak masalah,” jelas Myrdal. Ia menambahkan bahwa posisi Bank Indonesia saat ini relatif aman berkat cadangan devisa Indonesia yang masih besar dan kondisi likuiditas bank sentral yang kuat. Myrdal meyakini, selama BI melakukan perhitungan yang cermat dan matang, kebijakan burden sharing justru dapat menjadi instrumen efektif untuk mendukung program-program pemerintah dengan biaya pendanaan yang lebih efisien. “Jadi ya memang situasinya kita lihat sih sebenarnya bagus-bagus saja. Asalkan BI itu hitung lagi, hitung kondisinya. Jadi ya kalau misalkan likuiditasnya masih bagus sih BI tidak masalah,” pungkasnya, menekankan pentingnya manajemen likuiditas yang prudent.