
HargaPer.com – Murah &Terbaik Murah &Terbaik – , JAKARTA – Pasar keuangan global bergejolak pada Selasa (16/9/2025) ketika dolar AS menunjukkan pelemahan signifikan, tergelincir terhadap hampir semua mata uang utama. Tekanan jual ini mendorong nilai dolar mencapai level terendah empat tahun terhadap euro, dipicu oleh spekulasi yang memuncak mengenai potensi pemangkasan suku bunga Federal Reserve (The Fed) pada pekan ini.
Laporan dari Reuters pada Rabu (17/9/2025) merinci pergerakan pasar yang dinamis. Euro melonjak 0,9%, mencapai US$1,1867, menandai level tertinggi yang belum terlihat sejak September 2021. Sementara itu, indeks dolar AS, yang menjadi barometer kekuatan greenback terhadap enam mata uang utama, anjlok 0,7% menjadi 96,636, mencatat rekor terendah dalam empat tahun terakhir.
Setelah periode stabilitas yang relatif dalam beberapa bulan sebelumnya, dolar AS kini menghadapi gelombang tekanan jual. Investor semakin yakin bahwa The Fed akan segera mengambil langkah untuk melanjutkan pelonggaran kebijakan moneter. Sentimen ini diperkuat oleh seruan Presiden AS Donald Trump yang terus-menerus mendesak pelonggaran moneter yang lebih agresif.
Ekspektasi pasar secara luas mengarah pada pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin yang diperkirakan akan diumumkan pada Rabu (17/9/2025). Pemicu utama di balik meningkatnya proyeksi pelonggaran ini dalam beberapa pekan terakhir adalah serangkaian data pasar tenaga kerja AS yang menunjukkan pelemahan, menambah tekanan pada bank sentral untuk bertindak.
Karl Schamotta, Chief Market Strategist Corpay, menjelaskan situasi ini dengan cermat. “Dolar diperdagangkan dengan tekanan di seluruh papan seiring investor bersiap terhadap sinyal dovish yang mungkin muncul dari catatan voting, ringkasan proyeksi ekonomi ‘dot plot’, dan konferensi pers The Fed Rabu nanti,” ujarnya. Ketua The Fed, Jerome Powell, dijadwalkan menggelar konferensi pers krusial setelah rilis pernyataan kebijakan Fed pada pukul 14.00 waktu setempat. Schamotta memprediksi bahwa Powell akan berupaya meremehkan risiko inflasi dan secara jelas menunjukkan dukungan terhadap stabilitas pasar tenaga kerja, yang pada akhirnya akan membuka jalan bagi serangkaian pemangkasan suku bunga bertahap.
Meskipun data penjualan ritel AS yang dirilis Senin sempat menawarkan sedikit penahanan terhadap pelemahan dolar – dengan penjualan yang melampaui perkiraan pada Agustus – kekhawatiran investor tetap membayangi. Potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat pasar tenaga kerja yang melemah dan kenaikan harga barang yang dipicu oleh tarif impor masih menjadi fokus utama dan membatasi optimisme.
Menanggapi dinamika ini, Jonas Goltermann, Deputy Chief Markets Economist Capital Economics, berpendapat bahwa, “Data aktivitas ekonomi AS yang kuat menunjukkan ekonomi tetap dalam kondisi baik meski pertumbuhan lapangan kerja melambat. Ini mengindikasikan bahwa FOMC kemungkinan akan melanjutkan pelonggaran secara bertahap, dan imbal hasil obligasi serta dolar mungkin akan mengalami sedikit rebound.”
Di kancah internasional, sterling Inggris turut menunjukkan penguatan, naik 0,5% ke US$1,366, mencapai level tertinggi lebih dari dua bulan. Kenaikan nilai poundsterling ini terjadi setelah data menunjukkan pasar tenaga kerja Inggris melemah, sebuah kondisi yang berpotensi meredakan kekhawatiran Bank of England terhadap tekanan inflasi yang berkelanjutan.
Sementara itu, euro juga mendapat dorongan dari data produksi industri zona euro yang menunjukkan peningkatan tipis pada Juli, meskipun laju ekspansinya tetap lambat. Selain itu, sentimen investor Jerman secara tak terduga meningkat pada September, sebagaimana dilaporkan oleh ZEW Research Institute, mencerminkan tanda-tanda optimisme yang hati-hati di tengah ketidakpastian ekonomi.
Di Asia, dolar terus melemah terhadap yen Jepang, mencapai level terendah sebulan terakhir, diperdagangkan turun 0,7% ke 146,35. Pelemahan ini terjadi menjelang pertemuan kebijakan Bank of Japan (BOJ) yang dijadwalkan pada Jumat. Pasar secara luas memperkirakan bahwa BOJ akan mempertahankan suku bunga acuannya di 0,5%, menambah perbedaan kebijakan moneter antar bank sentral global.