
HargaPer.com – Murah &Terbaik Murah &Terbaik – Pasar keuangan global saat ini tengah bergejolak, menghadapi fase volatilitas tinggi akibat kombinasi kompleks dari ketegangan geopolitik, ekspektasi suku bunga, dan dinamika regional yang saling tarik-menarik. Di tengah berbagai sentimen tersebut, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di pasar modal Indonesia diperkirakan masih akan melanjutkan tren pelemahan pada pekan ini.
Meskipun sentimen positif sempat muncul dari laporan kesepakatan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, Analis Pasar Modal Hans Kwee mengungkapkan keraguan para pelaku pasar. “Para pelaku pasar masih ragu karena rincian kesepakatan tersebut belum dijabarkan secara rinci,” ujar Hans Kwee kepada Jawa Pos, Minggu (15/6), menyoroti ketidakpastian yang masih membayangi.
Dari sisi data ekonomi AS, Biro Statistik Tenaga Kerja AS melaporkan bahwa inflasi tahunan meningkat tipis menjadi 2,4 persen pada Mei 2025, naik dari 2,3 persen pada bulan sebelumnya. Angka inflasi ini masih berada di bawah perkiraan pasar sebesar 2,5 persen, sebuah kondisi yang berpotensi memengaruhi kebijakan moneter Federal Reserve (The Fed).
Kondisi inflasi yang relatif terkendali ini membuka peluang bagi The Federal Reserve (The Fed) untuk mempertimbangkan pemangkasan suku bunga acuannya sebanyak dua kali sepanjang tahun ini. Hans Kwee memperkirakan bahwa “kemungkinan pemangkasan suku bunga baru akan mulai pada September 2025 mendatang,” memberikan proyeksi waktu yang dinantikan pelaku pasar.
Tekanan dari Presiden AS Donald Trump untuk mendorong The Fed menurunkan suku bunga demi mendukung pertumbuhan ekonomi jelang pemilu semakin menguat. Namun, di tengah ekspektasi ini, pasar saham AS dan Eropa justru menunjukkan kecenderungan melemah, mencerminkan adanya faktor lain yang lebih dominan memengaruhi sentimen investor.
Pelemahan pasar saham global ini sebagian besar dipicu oleh meningkatnya ketegangan antara Israel dan Iran, yang secara signifikan memicu sentimen risk-off. Investor global merespons dengan beralih ke aset safe haven, mencari perlindungan nilai pada instrumen seperti emas, dolar AS (USD), yen Jepang, dan franc Swiss, yang cenderung lebih stabil di masa krisis.
Kenaikan tensi di Timur Tengah juga turut memperkuat posisi dolar AS di pasar mata uang, bahkan di tengah narasi proses dedolarisasi yang sedang berlangsung di Asia. Menariknya, negara-negara ASEAN kini semakin memilih untuk menggunakan mata uang bilateral dalam perdagangan mereka, sebagai upaya mengurangi ketergantungan pada dolar AS.
Fenomena dedolarisasi ini juga tercermin dalam langkah kelompok BRICS. “BRICS menggunakan sistem pembayaran sendiri dan meninggalkan sistem tradisional seperti SWIFT,” tambah Hans Kwee, yang juga dosen Magister Fakultas Ekonomi Bisnis Unika Atma Jaya, menjelaskan pergeseran paradigma dalam sistem keuangan global.
Hans Kwee lebih lanjut menyatakan bahwa potensi serangan Israel ke Iran masih mungkin terjadi dalam pekan depan. Skenario ini, jika terwujud, diperkirakan akan mendorong kenaikan harga minyak secara signifikan dan memperparah tekanan pada pasar saham secara global.
Melihat kondisi tersebut, Hans Kwee memproyeksikan pergerakan IHSG. “IHSG akan bergerak dalam kisaran support di level 7.100 hingga 6.990, dengan resistance di kisaran 7.240 hingga 7.300,” terangnya, memberikan panduan teknis bagi investor di pasar saham domestik.
Di pasar domestik, nilai tukar rupiah terpantau ikut melemah sebagai dampak langsung dari tensi geopolitik global. Namun, pelemahan rupiah ini dinilai bersifat sementara, mengingat fundamental ekonomi Indonesia yang cukup resilient menghadapi guncangan eksternal.
Meski demikian, ada secercah harapan. “Inflasi rendah di AS bisa menjadi katalis positif dalam jangka menengah jika The Fed akhirnya menurunkan suku bunga,” jelas Hans. Kebijakan moneter The Fed yang lebih longgar dapat memberikan ruang bagi bank sentral di negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk melonggarkan kebijakan mereka.
Bank Indonesia (BI) sendiri memiliki ruang yang cukup untuk menurunkan suku bunga acuannya pada pertemuan pekan ini. Stabilitas nilai tukar rupiah yang terjaga, inflasi yang tetap terkendali sesuai target, serta perlambatan pertumbuhan ekonomi domestik menjadi alasan kuat bagi BI untuk mempertimbangkan pelonggaran kebijakan moneter guna mendorong kembali aktivitas ekonomi.
Data perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk periode 9-13 Juni 2025 menunjukkan performa yang bervariasi. Meskipun pasar global diwarnai ketidakpastian, rata-rata volume transaksi harian di BEI justru mengalami peningkatan tertinggi, naik 15,52 persen secara mingguan menjadi 28,05 miliar lembar saham, menunjukkan aktivitas investor yang cukup tinggi.
Peningkatan juga terlihat pada rata-rata frekuensi transaksi harian, yang naik sebesar 3,98 persen (week-to-week/WtW), dari 1,36 juta kali transaksi menjadi 1,42 juta kali transaksi. Ini menandakan semakin banyak investor yang terlibat dalam aktivitas perdagangan di BEI.
Di tengah dinamika tersebut, IHSG mencatat kenaikan sebesar 0,74 persen, dan ditutup pada level 7.166,065, dari posisi 7.113,425 pada pekan sebelumnya. “Ini menunjukkan daya tahan IHSG di tengah sentimen negatif global,” ujar Sekretaris Perusahaan BEI Kautsar Primadi Nurahmad.
Namun, di sisi lain, rata-rata nilai transaksi harian justru menurun 5,21 persen, dari Rp 17,14 triliun menjadi Rp 16,24 triliun. Pada perdagangan Jumat (13/6), investor asing membukukan net buy (beli bersih) sebesar Rp 478,76 miliar. Meskipun demikian, secara kumulatif sepanjang tahun 2025, investor asing masih mencatatkan net sell (jual bersih) yang signifikan, mencapai Rp 48,582 triliun, mengindikasikan dominasi penjualan oleh investor asing dalam jangka panjang.