IHSG Koreksi? Analis Ungkap Strategi Investasi Aman Saat Konsolidasi

JAKARTA, KOMPAS.com – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali terperosok tajam, anjlok 2,57 persen hingga menyentuh level 7.915,66 pada penutupan perdagangan Jumat (17/10/2025). Penurunan signifikan ini menandai fase koreksi mendalam yang telah mencapai lebih dari 3 persen dalam sepekan terakhir, menyusul rekor tertinggi IHSG di level 8.288.

Menurut Hendra Wardana, Analis sekaligus Founder Republik Investor, tekanan jual yang masif ini terfokus pada saham-saham konglomerat berkapitalisasi besar. Emiten seperti BREN, DSSA, BRPT, dan CUAN yang sebelumnya menjadi motor penggerak utama reli IHSG, kini mengalami koreksi substansial. "Kondisi ini memperkuat sinyal bahwa pasar sedang memasuki fase konsolidasi, bukan sepenuhnya bearish, di mana investor cenderung mengambil posisi aman setelah kenaikan yang sangat cepat dalam beberapa bulan terakhir," jelas Hendra dalam keterangan tertulisnya, Senin (20/10/2025).

Baca juga: IHSG Anjlok 4,14 Persen dalam Sepekan, Bagaimana Arah Pergerakan Pekan Depan?

Dari perspektif teknikal, Hendra menjelaskan bahwa IHSG saat ini bergerak di bawah pola lower wedge, dengan level support krusial di kisaran 7.805 dan area support kuat pada 7.448–7.548. Sementara itu, level resistance jangka pendek yang perlu diperhatikan berada di 8.285. Peluang rebound tetap terbuka lebar jika IHSG mampu bertahan di atas area support yang telah disebutkan, khususnya jika sentimen dan tekanan eksternal mulai mereda.

Koreksi tajam yang menimpa saham-saham emiten konglomerat seperti BREN, BBCA, DSSA, DCII, TPIA, BYAN, dan AMMN, yang turut menyeret IHSG, sejatinya merupakan bentuk profit taking yang wajar. Saham-saham ini telah melonjak sangat tinggi selama beberapa bulan terakhir, didorong oleh euforia investor terhadap kinerja kuat di sektor energi, digital, dan keuangan. Namun, Hendra menambahkan, "Kini investor tampak memilih mengamankan keuntungan di tengah meningkatnya ketidakpastian global."

Baca juga: IHSG Anjlok, Purbaya: Enggak Apa-apa, Kalau Naik Terus Rugi

Meski demikian, koreksi yang terjadi kali ini belum mengindikasikan berakhirnya dominasi saham-saham konglomerat. Sebaliknya, Hendra melihatnya sebagai fase penyesuaian valuasi setelah reli besar. Justru, ketika tekanan jual mulai mereda, saham-saham berkapitalisasi besar ini berpotensi kembali menjadi penopang IHSG, mengingat fundamental bisnis mereka yang tetap solid dan strategi ekspansif yang berkelanjutan.

Di sisi lain, koreksi pasar ini membuka momentum strategis bagi investor untuk mulai mengakumulasi saham-saham unggulan yang tergabung dalam indeks LQ45, yang kini tersedia dengan harga terdiskon. Saham-saham dengan fundamental kokoh seperti BBCA, TLKM, UNTR, dan ASII menjadi sangat menarik untuk dikoleksi secara bertahap, terutama bagi investor yang berorientasi jangka menengah hingga panjang.

Dalam daftar rekomendasi, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) direkomendasikan speculative buy dengan target harga Rp 7.950, didukung oleh prospek perbankan yang solid dan likuiditas sistem keuangan yang masih longgar. PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) berpotensi buy on weakness di kisaran Rp 2.780 dengan target Rp 3.100, seiring pertumbuhan bisnis digital dan data center yang terus meningkat. Untuk sektor otomotif, PT Astra International Tbk (ASII) disarankan buy on weakness di area Rp 5.400 dengan target Rp 6.000, didasari ekspektasi pemulihan penjualan kendaraan pada semester mendatang. Sementara itu, PT United Tractors Tbk (UNTR) direkomendasikan buy dengan target harga Rp 27.450, ditopang oleh prospek stabil dari lini bisnis alat berat serta kontribusi sektor tambang emas yang kian signifikan.

Kondisi global yang dinamis turut berperan dalam mendorong investor beralih sementara ke aset safe haven seperti emas. Isu-isu seperti memanasnya kembali perang dagang AS–China, ancaman penutupan pemerintahan (government shutdown) di AS yang telah berlangsung 16 hari, serta kekhawatiran akan perlambatan ekonomi dunia, menjadi faktor pemicu utama. Terbukti, harga emas dunia mencetak rekor tertinggi baru di level 4.340 dollar AS per troy ounce pada Jumat sore, menunjukkan lonjakan permintaan terhadap aset lindung nilai.

Meskipun demikian, perpindahan dana ke emas diperkirakan bersifat sementara. Fundamental pasar saham domestik dipandang masih kuat, ditopang oleh stabilitas makroekonomi dan potensi penurunan suku bunga Bank Indonesia pada kuartal mendatang, yang dapat kembali menarik minat investor ke pasar modal.

Dari sisi domestik, Hendra menilai koreksi IHSG kali ini juga mencerminkan penilaian pasar terhadap satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran. Investor masih menanti kejelasan arah kebijakan ekonomi dan fiskal, terutama dalam upaya menjaga defisit APBN dan mempercepat realisasi proyek strategis nasional. Namun, ditegaskan bahwa faktor global tetap menjadi pendorong utama pelemahan pasar saat ini, bukan semata-mata akibat kebijakan pemerintah.

Dalam konteks ini, Hendra menegaskan bahwa koreksi IHSG justru dapat dianggap sebagai healthy correction yang diperlukan untuk membentuk fondasi baru sebelum melanjutkan tren kenaikan berikutnya. "Dengan kata lain, IHSG memang sedang beristirahat setelah mendaki terlalu tinggi, bukan memasuki fase bearish yang berkepanjangan," pungkasnya.

Disclaimer: Artikel ini bukan ajakan untuk membeli atau menjual saham. Semua rekomendasi dan analisis saham berasal dari analis sekuritas yang bersangkutan, dan Kompas.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan atau kerugian yang timbul. Keputusan investasi sepenuhnya berada di tangan investor. Pastikan untuk melakukan riset menyeluruh sebelum membuat keputusan investasi.

You might also like