
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Ketegangan hubungan antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali mencuat, membuat pasar saham global bergejolak dan dihantui kekhawatiran. Sentimen negatif ini dipicu oleh pengumuman Presiden AS Donald Trump mengenai rencana penerapan tarif tambahan, bahkan hingga 100%, terhadap seluruh barang impor dari China.
Langkah eskalsi ini tidak berhenti di situ. Trump juga menegaskan rencana untuk memberlakukan kontrol ekspor ketat pada beragam perangkat lunak strategis, yang akan mulai berlaku efektif pada 1 November 2025. Kebijakan ini semakin memperkeruh suasana geopolitik dan ekonomi.
Respons terhadap kebijakan agresif ini sangat cepat dan masif. Hubungan antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia semakin memburuk, segera mengguncang pasar keuangan global. Dampaknya langsung terasa di Bursa saham AS Wall Street, yang anjlok tajam pada perdagangan Jumat (10/10/2025). Kerugian nilai pasar yang fantastis dilaporkan menyusut hingga sekitar US$ 2 triliun dalam sehari.
CEO JP Morgan Peringatkan Ancaman Koreksi Besar di Pasar Saham AS
Kejatuhan tersebut tercermin jelas pada ketiga indeks saham utama AS. Pada Jumat (10/10/2025), Dow Jones Industrial Average terpangkas 878,82 poin atau 1,90%, mendarat di 45.479,60. Sementara itu, Indeks S&P 500 ambles 182,60 poin atau 2,71% menjadi 6.552,51, dan Nasdaq Composite terperosok 820,20 poin atau 3,56% ke posisi 22.204,43. Ini menunjukkan kepanikan yang melanda bursa.
Pelemahan drastis yang terjadi di bursa saham AS ini tidak berhenti di Negeri Paman Sam. Kekhawatiran besar muncul bahwa gejolak tersebut akan turut menyeret dan membawa pengaruh signifikan ke pasar saham Indonesia.
Menanggapi potensi domino efek ini, Chory Agung Ramdhani, Customer Engagement and Market Analyst Department Head BRI Danareksa Sekuritas, menjelaskan bahwa pasar saham dalam negeri memang kerap ikut terseret saat bursa AS bergejolak, kendati fundamental ekonomi Indonesia tergolong solid. Fenomena ini menarik perhatian banyak pihak.
“Secara fundamental, Indonesia mungkin baik-baik saja, namun kita tetap ‘ketularan panik’ dari AS,” ungkap Chory kepada Kontan pada Minggu (12/10/2025). Ia menambahkan, ada dua pilar utama yang menjadi penyebabnya: mekanisme global fund flow dan perubahan sentimen risiko atau risk appetite para investor.
Chory merinci lebih lanjut mengenai dampak global fund flow. Ia menjelaskan bahwa para investor institusi global raksasa, seperti BlackRock, Vanguard, dan Fidelity, memiliki portofolio investasi yang tersebar luas di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Ketika pasar AS mengalami kejatuhan tajam, nilai portofolio mereka secara otomatis ikut menyusut. Kondisi ini memaksa mereka untuk menutup margin call atau melakukan rebalancing guna mengembalikan proporsi aset yang telah ditentukan.
“Mereka terpaksa menjual aset di emerging market seperti Indonesia, bukan karena fundamental ekonomi Indonesia buruk, melainkan karena kebutuhan mendesak akan cash dan likuiditas untuk menutupi posisi di AS,” tegas Chory. Ini menunjukkan bagaimana dinamika global mengalahkan fundamental lokal sesaat.
Konflik AS-China Meruncing, Bakal Berefek ke Pasar Saham Indonesia?
Selain aliran dana, Chory juga menyoroti pentingnya faktor risk-off sentiment. Saat pasar global dilanda kepanikan, para investor institusi cenderung mengalihkan dana mereka ke aset yang dianggap lebih aman atau safe haven, seperti dolar AS, US Treasury, dan emas. Akibatnya, mereka akan cenderung menarik diri dari aset berisiko, termasuk saham negara berkembang seperti Indonesia, demi keamanan modal.
“Itulah mengapa kadang IHSG ikut terkoreksi, meskipun informasi buruknya berasal dari AS dan tidak memiliki hubungan langsung dengan kondisi ekonomi kita,” ia menambahkan, menjelaskan fenomena yang seringkali membingungkan investor lokal.
Lebih lanjut, Chory mengingatkan bahwa pergerakan pasar keuangan tidak semata-mata didasarkan pada kepastian faktual, melainkan juga sangat dipengaruhi oleh persepsi dan ekspektasi investor. Ini membentuk sentimen yang bisa sangat kuat.
Ia menjelaskan bahwa tarif dan perang dagang secara langsung akan memengaruhi prospek pertumbuhan ekonomi global serta earnings atau laba perusahaan. Sebagai ilustrasi, jika Trump benar-benar serius memberlakukan kenaikan tarif impor dari China, secara otomatis biaya bahan baku akan melonjak. Hal ini berpotensi menekan laba perusahaan AS, mengganggu rantai pasokan (supply chain) global, dan pada akhirnya menurunkan volume perdagangan dunia, yang imbasnya akan terasa kuat di negara-negara berkembang.
Oleh karena itu, meskipun dampak riilnya belum pasti, pasar cenderung langsung ‘price in‘ atau memasukkan kemungkinan terburuk ke dalam perhitungan mereka. Begitu ada sinyal-sinyal eskalasi ketegangan, investor besar lebih memilih untuk segera mengambil posisi aman dengan melakukan aksi jual, dan baru akan membeli kembali ketika kondisi dinilai sudah lebih kondusif dan stabil.
Tak hanya itu, peran algo-trading dan fund makro global juga sangat signifikan. Sistem-sistem ini menggunakan pemicu (trigger) berbasis berita utama atau kata kunci tertentu, seperti ‘tariff‘ dan ‘trade war‘. Secara otomatis, algoritma ini akan memicu aksi jual begitu terdeteksi adanya sentimen negatif yang berasal dari AS, mempercepat dan memperparah penurunan pasar.
“Jadi, volatilitas pasar bukan semata-mata soal serius atau tidaknya langkah Trump, melainkan juga merupakan reaksi sistemik dari algoritma perdagangan dan keputusan investor besar yang serentak,” pungkas Chory. Ini menegaskan kompleksitas dinamika pasar saham modern.
Dengan demikian, Chory menyimpulkan bahwa meskipun Indonesia mungkin tidak memiliki hubungan langsung dengan konflik di AS, pasar global saat ini sudah sangat terintegrasi. Oleh karena itu, ketika pasar saham AS mengalami guncangan, efek rambatannya secara otomatis akan terasa kuat di emerging market, terutama melalui fluktuasi aliran dana asing dan perubahan risk appetite global yang cenderung bergeser ke arah yang lebih hati-hati.
Valuasi Saham AS Melonjak, Investor Waspadai Potensi Gelembung Pasar