Dividen BUMN Tambang Dibagikan: Bagaimana Kinerja Sahamnya Sekarang?

JAKARTA, KOMPAS.com – Tiga emiten pertambangan BUMN, atau yang sering disebut tambang pelat merah, baru saja merampungkan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) pada pekan lalu. Emiten-emiten tersebut meliputi PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), dan PT Timah Tbk (TINS). Salah satu sorotan utama dari hasil RUPST ini adalah keputusan pembagian dividen yang cukup ‘royal’, terutama bagi ANTM dan PTBA. Hal ini lantas memicu pertanyaan mendalam mengenai bagaimana sebenarnya prospek peningkatan kinerja emiten pertambangan BUMN ini hingga akhir tahun.

Menjawab pertanyaan tersebut, Liza Camelia Suryanata, Head of Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, memaparkan empat kebijakan domestik yang berpotensi menjadi katalis positif bagi kinerja BUMN tambang. Katalis pertama adalah dorongan kuat terhadap hilirisasi tambang dan pelarangan ekspor mineral mentah. Pemerintah secara konsisten melanjutkan upaya hilirisasi untuk logam strategis seperti nikel, bauksit, timah, dan emas. Kebijakan ini dinilai sangat menguntungkan ANTM dan TINS karena keduanya telah memiliki ekosistem downstream. Liza menjelaskan bahwa langkah ini tidak hanya menciptakan nilai tambah di dalam negeri, tetapi juga membuka peluang margin yang lebih besar bagi perusahaan-perusahaan tersebut, sebagaimana dikutip Minggu (15/6/2025).

Selanjutnya, katalis positif kedua berasal dari insentif energi terbarukan serta meningkatnya permintaan nikel untuk produksi baterai kendaraan listrik (EV). ANTM, misalnya, akan merasakan manfaat dari peta jalan kendaraan listrik (Perpres No. 55/2019) dan kemitraan dalam proyek baterai EV dengan IBC-LG. Sementara itu, PTBA turut mengambil peran dalam transisi energi dengan pengembangan PLTU Biomassa dan gasifikasi batu bara. Selain itu, rencana pelonggaran kebijakan moneter melalui penurunan BI Rate pada semester II-2025 juga diproyeksikan akan memberikan sentimen positif bagi pasar modal secara keseluruhan, termasuk emiten pertambangan BUMN. Liza menambahkan, sejumlah Proyek Strategis Nasional (PSN) yang berkaitan dengan infrastruktur energi dan mineral juga menjadi panggung tambahan bagi ANTM dan PTBA, baik sebagai pemasok material maupun mitra proyek.

Meski demikian, Liza juga tidak luput menyoroti beberapa potensi tantangan yang dapat menahan laju pertumbuhan emiten pertambangan pelat merah ini. Salah satu hambatan yang patut diperhatikan adalah wacana penerapan pajak progresif dan royalti yang lebih tinggi.

Pemerintah diketahui sempat mengemukakan rencana revisi tarif royalti progresif untuk batu bara dan logam, yang akan disesuaikan dengan fluktuasi harga pasar global. Kebijakan ini, menurut Liza, berpotensi mengikis margin keuntungan PTBA dan ANTM apabila harga komoditas mengalami kenaikan signifikan. Di samping itu, ketidakpastian terkait izin dan moratorium tambang juga menjadi faktor penghambat kinerja sektor pertambangan. Secara khusus, TINS sangat terdampak oleh pengetatan kebijakan tata kelola pertimahan. Penertiban pertambangan ilegal oleh pemerintah daerah dan pusat, meskipun positif dalam jangka panjang, dapat menekan volume produksi resmi dalam jangka pendek.

Lebih lanjut, target dekarbonisasi dan upaya pemerintah untuk mengurangi porsi batu bara dalam bauran energi nasional juga menjadi sorotan. Komitmen jangka panjang ini berpotensi memberikan tekanan pada kinerja PTBA, meskipun permintaan domestik dari PLN masih menunjukkan kekuatan. Tantangan terakhir adalah ketergantungan yang melekat pada holding MIND ID serta regulasi BUMN yang ada.

Liza menyimpulkan bahwa sebagai bagian integral dari MIND ID, emiten pertambangan BUMN seperti ANTM, PTBA, dan TINS cenderung harus mengikuti kebijakan korporasi yang ditetapkan secara top-down. Hal ini mencakup konsolidasi aset, divestasi, atau aksi korporasi lainnya, yang pada akhirnya dapat mengurangi fleksibilitas strategi masing-masing emiten dalam menghadapi dinamika pasar.

You might also like