Panderman Tak Terduga: Kisah Pendakian Pemula yang Menginspirasi!

Kegiatan mendaki gunung kini bukan hanya sekadar hobi, melainkan telah menjadi tren yang populer di kalangan masyarakat. Namun, di balik pesona puncaknya, sorotan utama justru mengarah pada aspek keamanan mendaki. Anda tentu bisa menebak arah pembicaraan ini, bukan? Ya, keselamatan pendakian menjadi topik hangat, khususnya setelah insiden tragis jatuhnya seorang pendaki di salah satu gunung di Indonesia akibat kurangnya antisipasi terhadap kondisi fisik yang kelelahan.

Keamanan adalah fondasi utama dalam setiap pendakian gunung. Ini mencakup kesiapan fisik dengan stamina yang memadai, perlengkapan mendaki yang lengkap, pakaian yang protektif, serta kehadiran teman mendaki atau pemandu yang berpengalaman. Tanpa persiapan esensial ini, sebaiknya Anda mempertimbangkan kembali rencana untuk melangkah naik.

Peristiwa jatuhnya seorang wisatawan asal Brazil saat pendakian di Gunung Rinjani telah menginspirasi banyak orang untuk membagikan pengalaman mereka. Saya pribadi telah membaca kisah seorang teman di Facebook mengenai pendakian Gunung Ijen, dan sebelum menulis artikel ini, saya juga menyimak ulasan Pak Chaerul Sabara tentang pengalamannya mendaki Gunung Panderman. Kisah-kisah berharga ini pada intinya mengingatkan bahwa mendaki gunung bukan hanya ajang pamer kekuatan atau gagah-gagahan, melainkan memerlukan persiapan mendaki yang matang dan kehati-hatian ekstra.

Saat membaca status teman yang mengisahkan pendakian Gunung Ijen, ingatan saya tiba-tiba melayang pada pengalaman puluhan tahun silam. Ternyata saya pun pernah mendaki gunung! Walaupun tidak setinggi Ijen, gunung yang saya daki ini dikenal memiliki tingkat kesulitan pendakian yang relatif rendah, sebagaimana diungkapkan oleh Chaerul Sabara. Gunung tersebut adalah Gunung Panderman.

Saya pun mengangguk-angguk setuju saat membaca artikel Pak Chaerul. Pengalaman saya mendaki Panderman memang terasa tanpa kesulitan berarti. Ini jelas berbeda jauh jika dibandingkan dengan medan Gunung Rinjani yang memiliki jalanan sempit berpasir dengan jurang di kanan-kirinya. Gunung Panderman relatif lebih datar, dan meskipun ada tanjakan, tidak ada lereng yang terlalu curam.

Kisah ini bermula ketika saya duduk di bangku kelas 1 SMA. Saat itu, saya mengikuti ekstrakurikuler Pencak Silat. Kegiatan pendakian ke Gunung Panderman ini adalah bagian dari olah fisik sekaligus semacam orientasi untuk anggota baru, jika ingatan saya tidak salah.

Karena kejadiannya sudah sangat lama, saya bahkan harus menghubungi teman SMA saya untuk menanyakan detail kegiatan tersebut. Ia juga sedikit lupa, namun ingatannya lebih banyak daripada saya. Kami berangkat rombongan dari Malang. Gunung Panderman sendiri terletak di Kota Batu. Saya tidak ingat persis bagaimana kami turun dari kendaraan dan berjalan menuju kaki gunung. Yang jelas terekam adalah momen saat kami mulai mendaki. Saya benar-benar terengah-engah, namun setiap ada jalan datar, saya justru berlari. Saya juga ingat ditertawakan oleh kakak-kakak senior; sepertinya saya adalah junior paling lemah saat itu. Ketika jalan menanjak, seorang senior menawarkan bantuan dengan ‘menarik’ tangan saya.

Jangan bayangkan adegan romantis ala FTV, ya. Kakak senior itu mengambil sebatang dahan kering, lalu meminta saya memegang salah satu ujungnya. Ia memegang ujung yang lain dan berjalan mendahului saya. Langkah saya menjadi lebih ringan berkat metode tarik-menarik tersebut.

Saking lamanya, saya bahkan tidak ingat apakah kami sampai puncak atau tidak. Namun, menurut cerita Arci, teman yang sempat saya hubungi, kami waktu itu memang sampai di puncak dan beristirahat. Samar-samar, saya ingat berbaring telentang di tanah, merasa seluruh badan sudah sangat lelah.

Masih menurut Arci, kami kemudian buru-buru diminta turun karena ada petir. Saya ingat memang ada gerimis saat kami di puncak, namun dalam perjalanan turun, hujan mereda dengan sendirinya. Saat turun, saya tidak lagi ditarik oleh senior—tentu saja, kalau jalanan menurun ditarik, bisa-bisa malah tersungkur. Saya sangat ingat bahwa saat turun, badan saya sudah kembali segar dan saya beberapa kali berlari, hingga salah satu senior berkomentar, “Gaya banget sudah bisa lari-lari, awas nanti kecapean lagi.” Kondisi saya saat naik dan saat turun memang berbanding 180 derajat. Ketika naik, saya benar-benar lemas seperti tidak kuat lagi menghadapi derita mendaki gunung. Tapi saat turun, saya jadi sombong sekali, seolah tidak butuh lagi bantuan kakak senior karismatik yang tadi menarik tangan saya. Hahaha, namanya juga remaja belasan tahun, lagi labil-labilnya dan sering songong.

Dari pendakian Gunung Panderman yang terjadi jutaan tahun lampau ini (gaya bahasa hiperbola), saya dapat menarik beberapa kesimpulan penting:

  1. Terkadang, Anda mendaki gunung bukan karena suka atau ingin menikmati pemandangan indah, melainkan karena terpaksa. Misalnya, ekstrakurikuler yang Anda pilih ternyata punya agenda ‘jalan santai’ di gunung untuk menguji fisik anggota baru.
  2. Meskipun Gunung Panderman adalah gunung yang relatif aman didaki, persiapan mendaki gunung ini tetap harus matang. Jangan lupa membawa air minum, camilan kecil, dan obat-obatan untuk kebutuhan darurat.
  3. Pendakian harus didampingi oleh tenaga profesional atau setidaknya oleh senior yang sudah berpengalaman mendaki gunung tersebut berkali-kali. Seperti pengalaman saya saat orientasi ekskul Pencak Silat, situasi dan kondisi benar-benar aman karena senior pendamping cukup banyak dan mereka jelas menguasai medan, mungkin sudah sering mengadakan kegiatan serupa di Gunung Panderman.
  4. Jangan lupa untuk mengambil gambar saat mendaki gunung sebagai kenangan. Jika hanya teman Anda yang membawa kamera, pastikan semua file dikirimkan kepada Anda. Saya mendaki Gunung Panderman di era kamera masih menggunakan klise. Seingat saya ada dokumentasi, namun saya tidak punya satu pun. Berarti dulu saya tidak ikut mencetak foto. Padahal, selembar foto saat mejeng di puncak Panderman, atau bahkan dalam pose paling jelek sekalipun, tetap penting untuk disimpan dan sewaktu-waktu dapat diunggah di momen yang tepat, misalnya untuk menghiasi artikel di Kompasiana, hehehe.
  5. Keselamatan Anda saat mendaki adalah rezeki dari Tuhan. Seaman-amannya sebuah gunung, kecelakaan kecil atau besar selalu bisa terjadi. Jadi, tidak perlu jumawa, jalani saja pendakian dengan sebaik-baiknya sampai pulang ke rumah dengan selamat.
  6. Apapun bisa terjadi di gunung. Jika Anda merasa lelah, atau merasakan sakit di bagian tubuh tertentu, segera laporkan pada pemandu profesional yang menemani Anda. Seorang profesional akan tahu apa yang harus dilakukan saat kondisi darurat terjadi.

Demikianlah kiranya, kisah dan kesimpulan yang bisa diambil dari pendakian Gunung Panderman saya puluhan tahun lalu. Intinya: mendaki gunung tidak boleh jumawa, lakukan dengan tenang. Ajak teman-teman yang menguasai medan untuk sama-sama naik gunung. Akhir kata: Jangan mengambil apapun kecuali gambar/foto, jangan membunuh apapun kecuali waktu, jangan meninggalkan apapun kecuali jejak. Salam Lestari.

You might also like