Wakil Direktur PT Garuda Indonesia Tbk, Thomas Sugiarto Oentoro, menyatakan bahwa upaya perbaikan operasional yang sedang berlangsung di perusahaan diperkirakan baru akan membuahkan hasil pada kuartal II 2026. Setelah menerima suntikan modal segar sebesar Rp 23,6 triliun dari Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), manajemen Garuda Indonesia kini tengah mengkaji ulang proyeksi bisnis mereka.
Dalam paparan publik daring pada hari Kamis, 27 November 2025, Thomas menjelaskan, “Fokus kami saat ini adalah memperbaiki kinerja dan operasional perusahaan. Kami berharap langkah ini akan memberikan dampak positif yang signifikan pada kuartal II mendatang.”
Lebih lanjut, Thomas mengungkapkan bahwa Garuda Indonesia berencana meluncurkan serangkaian inovasi bisnis pada tahun depan untuk mendongkrak kinerja perusahaan. Inisiatif ini mencakup peningkatan kualitas pelayanan, optimalisasi operasional, dan transformasi digital secara menyeluruh.
Transformasi digital menjadi salah satu fokus utama Garuda Indonesia. Thomas menambahkan bahwa melalui sistem digital yang baru, Garuda Indonesia ingin mempermudah pelanggan dalam proses pemesanan hingga pembayaran tiket pesawat. “Kami berkomitmen untuk memberikan kemudahan kepada pelanggan melalui sistem digital yang inovatif,” ujarnya.
Suntikan modal dari Danantara dilakukan melalui skema Penambahan Modal Tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (PMTHMETD) atau private placement yang disetujui dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa pada 13 November 2025. Modal tersebut terdiri dari setoran tunai sebesar Rp 17,02 triliun dan konversi utang senilai Rp 6,65 triliun.
Dari total Rp 23,67 triliun dana yang diterima dari Danantara, sekitar Rp 8,7 triliun (37 persen) akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan modal kerja Garuda Indonesia, termasuk perawatan dan pemeliharaan pesawat. Sementara itu, Rp 14,9 triliun (63 persen) sisanya akan digunakan untuk mendukung operasional Citilink, dengan rincian Rp 11,2 triliun untuk modal kerja dan Rp 3,7 triliun untuk pelunasan kewajiban pembelian bahan bakar kepada Pertamina untuk periode 2019–2021.
Meskipun demikian, hingga September 2025, Garuda Indonesia masih mencatatkan kerugian sebesar US$ 180,7 juta atau setara dengan Rp 3 triliun (dengan kurs Rp 16.654 per dolar Amerika Serikat). Namun, kerugian ini menunjukkan penurunan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yang tercatat sebesar US$ 129,6 juta atau Rp 2,1 triliun.
Berdasarkan laporan keuangan yang dipublikasikan di Bursa Efek Indonesia pada hari Jumat, 31 Oktober 2025, Garuda Indonesia membukukan pendapatan usaha sebesar US$ 2,3 miliar atau Rp 38,3 triliun. Pendapatan ini mengalami penurunan dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yang mencapai Rp 41,6 triliun. Rincian pendapatan Garuda Indonesia terdiri dari penerbangan berjadwal sebesar US$ 1,8 miliar atau Rp 29,9 triliun, penerbangan tidak berjadwal (charter) sebesar US$ 299,5 juta, dan pendapatan lainnya sebesar US$ 245,8 juta.
Beban usaha Garuda Indonesia tercatat sebesar US$ 2,2 miliar, mengalami penurunan dibandingkan US$ 2,3 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya. Hingga 30 September 2025, Garuda Indonesia memiliki total aset sebesar US$ 6,7 miliar. Namun, ekuitas Garuda tercatat minus US$ 1,5 miliar, dengan liabilitas mencapai US$ 8,2 miliar.