Emiten Migas Terancam Gejolak Harga Minyak Dunia, Cek Rekomendasi MEDC, ENRG & ELSA

Gejolak harga minyak mentah global terus menciptakan bayang-bayang ketidakpastian bagi para emiten produsen minyak dan gas (migas). Dalam lanskap pasar yang dinamis ini, langkah antisipasi strategis menjadi krusial untuk menjaga kinerja keuangan mereka tetap stabil.

Merujuk data dari Trading Economics, harga minyak mentah dunia jenis West Texas Intermediate (WTI) sempat menunjukkan pemulihan tipis, berhasil rebound 1,36% ke level US$ 59,70 per barel pada Senin (13/10/2025) pukul 19.10 WIB. Namun, pemulihan ini terjadi setelah pada Jumat (10/10) sebelumnya, harga minyak WTI sempat anjlok lebih dari 4%. Penurunan drastis ini dipicu oleh pengumuman rencana Donald Trump untuk memberlakukan tarif impor tambahan 100% kepada China mulai 1 November 2025, yang sontak menimbulkan kekhawatiran akan kembali memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.

Meskipun terjadi pembalikan arah sesaat, tekanan terhadap harga minyak dunia masih terasa. Harga WTI tercatat menyusut 5,5% dalam sebulan terakhir dan bahkan telah terkoreksi 16,59% secara year to date (ytd) sejak awal tahun. Tren serupa juga terlihat pada minyak mentah Brent, yang meskipun rebound 1,15% ke level US$ 63,45 per barel pada hari yang sama, namun dalam sebulan terakhir terkoreksi 5,79%, dan merosot 14,87% ytd sejak awal tahun.

Research Analyst Bumiputera Sekuritas, Muhammad Thoriq Fadilla, menjelaskan bahwa ketidakpastian geopolitik global adalah pemicu utama volatilitas harga komoditas energi seperti minyak mentah. Fluktuasi ini secara langsung mempengaruhi kinerja keuangan emiten migas. Ketika harga minyak mengalami penurunan signifikan, seperti yang terjadi pada akhir pekan lalu atau sejak awal 2025, emiten dihadapkan pada tekanan margin yang berat, terutama bagi sumur marginal yang menanggung biaya produksi tinggi.

Lebih lanjut, Thoriq menyoroti bahwa gejolak harga tersebut menambah kompleksitas dalam perencanaan jangka menengah hingga panjang bagi emiten migas, termasuk keputusan penting terkait ekspansi blok baru atau kegiatan eksplorasi. “Jika harga minyak terus berfluktuasi, yang harus diperhatikan emiten adalah soal biaya produksi,” tegas Thoriq pada Senin (13/10/2025). Ia menambahkan, selama harga minyak mentah bertahan di kisaran US$ 60 per barel, umumnya emiten migas masih mampu menjaga margin keuntungan. Namun, jika harga jatuh ke bawah US$ 55 atau bahkan US$ 50 per barel, margin keuntungan akan semakin menipis, bahkan berpotensi menghentikan produksi.

Di tengah kondisi pasar yang tidak menentu, struktur kontrak juga menjadi faktor penentu vital bagi kelangsungan usaha emiten migas. Emiten yang memiliki porsi gas bumi besar cenderung memiliki kinerja yang lebih stabil berkat skema penjualan melalui kontrak jangka panjang. Sebaliknya, emiten yang sangat bergantung pada minyak mentah akan lebih rentan terhadap volatilitas harian, sehingga memerlukan strategi pengelolaan risiko yang lebih agresif.

Chief Executive Officer (CEO) Edvisor Provina Visindo, Praska Putrantyo, menyarankan agar emiten-emiten produsen migas memperkuat strategi efisiensi biaya operasional di tengah risiko harga minyak dunia yang rawan bergerak volatil. “Upaya ini diperlukan agar arus kas masih aman dan margin profitabilitas terjaga,” ujarnya pada Senin (13/10). Selain efisiensi, diversifikasi bisnis ke sektor energi terbarukan secara bertahap juga menjadi opsi strategis yang patut dipertimbangkan untuk menciptakan keberlanjutan.

Mengenai prospek ke depan, Praska memprediksi bahwa harga minyak mentah global cenderung flat atau bahkan berpotensi mengalami penurunan pada sisa tahun 2025. Prediksi ini didasari oleh risiko ketegangan perang dagang yang meningkat, yang dapat memicu perlambatan ekonomi global dan menyulitkan emiten migas memulihkan kinerjanya secara signifikan. Sebaliknya, Thoriq berpendapat bahwa kinerja keuangan emiten migas akan lebih terjaga asalkan harga minyak dunia mampu bertahan di atas US$ 60 per barel hingga akhir 2025. Namun, jika harga melemah di bawah level tersebut, tekanan terhadap margin dan arus kas akan meningkat seiring pelemahan laba emiten.

Bagi investor yang ingin mencermati sektor ini, Thoriq merekomendasikan saham PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) dengan target harga Rp 1.700 per saham dan PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) dengan target harga Rp 1.030 per saham. Investor disarankan untuk menerapkan stop loss di level Rp 1.450 per saham untuk MEDC dan Rp 925 per saham untuk ENRG. Sementara itu, Praska melihat saham PT Elnusa Tbk (ELSA) cukup menarik untuk dipantau dengan target harga Rp 530 per saham, serta MEDC dengan target harga Rp 1.600 per saham.

You might also like