
HargaPer.com – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menekankan pentingnya penyesuaian tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dilakukan secara bertahap, dengan selalu mempertimbangkan daya beli dan kemampuan finansial masyarakat. Pernyataan ini muncul menyusul polemik besar terkait rencana kenaikan PBB-P2 hingga 250 persen di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang menuai protes dari berbagai kalangan.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Askolani, menjelaskan bahwa pemerintah daerah memang memiliki otoritas untuk menyesuaikan tarif PBB-P2. Kendati demikian, ia menegaskan bahwa penyesuaian tersebut tidak sepatutnya dilakukan secara drastis atau dalam jumlah besar sekaligus. Askolani menambahkan, meskipun perundang-undangan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menetapkan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) melalui proses asesmen rasio agar Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) senantiasa sesuai dengan kondisi ekonomi lokal, hal ini harus tetap mempertimbangkan beban wajib pajak. Oleh karena itu, kenaikan beban wajib pajak sebaiknya dilakukan secara bertahap.
Kewenangan kepala daerah dalam menetapkan tarif PBB-P2 ini secara spesifik diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 85 Tahun 2024. Aturan tersebut menegaskan bahwa dasar pengenaan PBB-P2 adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), yang penetapannya didasarkan pada proses penilaian NJOP bumi dan bangunan. Dalam regulasi ini, kepala daerah diberi fleksibilitas untuk menetapkan pengenaan PBB-P2 paling rendah 20 persen dan paling tinggi 100 persen dari NJOP setelah dikurangi NJOP Tidak Kena Pajak. Penting dicatat bahwa penetapan besaran tarif PBB ini harus diimplementasikan melalui peraturan kepala daerah.
Lebih lanjut, PMK Nomor 85 Tahun 2024 juga mengatur bahwa penilaian ulang NJOP idealnya dilakukan setiap tiga tahun sekali. Namun, untuk objek pajak tertentu, penyesuaian bisa dilakukan setiap tahun dengan pertimbangan khusus. Askolani kembali menekankan bahwa pembaruan NJOP memang krusial untuk mencerminkan perkembangan nilai properti di suatu wilayah. Akan tetapi, ia menggarisbawahi bahwa dalam pelaksanaannya, proses ini harus senantiasa memperhatikan daya bayar masyarakat agar tidak menimbulkan beban yang memberatkan.
Polemik kenaikan PBB-P2 di Kabupaten Pati sendiri bermula ketika Bupati Sudewo mengumumkan rencana kenaikan drastis hingga 250 persen, dengan alasan bahwa tarif PBB di Pati belum mengalami perubahan selama 14 tahun terakhir. Kebijakan ini sontak memicu gelombang protes dan keberatan dari warga setempat. Merespons tekanan publik dan demi menjaga stabilitas daerah, Bupati Sudewo pada Jumat (8/8/2025) akhirnya membatalkan rencana tersebut. Ia memastikan bahwa tarif PBB-P2 akan kembali ke level tahun 2024, dan kelebihan pembayaran yang telah dilakukan oleh warga akan dikembalikan.
Penulis: Isna Rifka Sri Rahayu