Viral gerai makanan tolak pembayaran uang tunai, anggota DPR minta Menkeu dan BI turun tangan

JAKARTA, KOMPAS.TV – Ketua Komisi VII DPR RI Saleh Partaonan Daulay mendesak Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo turun tangan mengatasi persoalan sejumlah gerai makanan yang menolak pembayaran uang tunai.

Menurut Saleh, semakin banyak toko, restoran, hingga gerai ritel yang hanya melayani pembayaran non-tunai melalui kartu maupun kode cepat QRIS. Kondisi tersebut perlu ditertibkan karena dinilai bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku.

“Menteri Keuangan dan Gubernur BI harus turun tangan. Apalagi sudah banyak orang yang kritis dan mencermati masalah ini,” kata Saleh dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (25/12) mengutip Antara.

“Jangan lemah dalam menegakkan aturan. Apalagi aturan tersebut secara eksplisit disebutkan di dalam undang-undang.”

Jakarta Aquarium Safari Hadirkan Blissful Fairyland, Libur Nataru Jadi Lebih Magis

Saleh menegaskan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dengan jelas menyebutkan mata uang Rupiah wajib diterima sebagai alat pembayaran yang sah. Penolakan hanya dibenarkan jika terdapat keraguan atas keaslian uang tersebut.

Menurutnya, aturan ini bukan sekadar formalitas, melainkan memiliki konsekuensi hukum yang harus ditegakkan oleh negara.

“Sekali lagi, kalau ini dibiarkan akan berdampak negatif bagi kehidupan sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia,” ujarnya.

Adapun Saleh menyampaikan demikian menanggapi viralnya sebuah video di media sosial yang memperlihatkan seorang konsumen lansia ditolak saat membayar tunai di sebuah toko roti di halte Transjakarta kawasan Monas, Kamis (18/12/2025). Dalam video itu, pihak toko mewajibkan pembayaran menggunakan QRIS.

Saleh mengaku mengalami kejadian serupa di berbagai tempat. Ia menilai praktik tersebut mencederai prinsip negara hukum.

“Saya sendiri saja, di beberapa restoran dan gerai, sering ditolak kalau mau bayar cash (tunai). Katanya, ketentuannya seperti itu dari atasan,” ucap Saleh.

“Padahal, atasan mereka itu adalah warga negara biasa. Karena itu, dia tidak boleh buat undang-undang yang mengikat warga negara lain.”

Saleh menambahkan, jika setiap pihak bebas membuat aturan sendiri, dampaknya akan sangat serius.

“Kalau semua orang boleh buat aturan seperti itu, dipastikan akan terjadi carut-marut. Wibawa negara sebagai negara hukum akan sangat dilemahkan,” ujarnya.

Saleh juga menyoroti dampak sosial dari kebijakan pembayaran non-tunai yang dipaksakan. Tidak semua masyarakat, terutama lansia, akrab dengan teknologi digital.

“Kasihan, dia ditinggalkan zaman. Padahal, menurut undang-undang, setiap orang harus menerima pembayaran pakai uang cash,” ujar Saleh.

Ia menekankan, penolakan pembayaran tunai hanya sah jika uang tersebut terbukti palsu. Jika tidak, tidak ada alasan hukum untuk menolak.

“Hanya dikecualikan jika uang tersebut diduga palsu dan yang menduga, harus membuktikannya,” katanya.

Jakarta Aquarium Safari Hadirkan Blissful Fairyland, Libur Nataru Jadi Lebih Magis

Karena itu, Saleh mendesak pihak berwenang memeriksa dan meminta pertanggungjawaban pihak-pihak yang memerintahkan gerai hanya menerima pembayaran non-tunai.

“Harus diminta keterangan dan pertanggungjawabannya. Kalau dibiarkan, ini akan menjadi preseden buruk dan ditiru orang lain,” ujarnya.

“Restoran dan gerai yang meminta bayaran cashless sekarang sudah menjamur. Bahkan sering sekali orang tidak jadi belanja karena tidak punya kartu.”

You might also like