
The Federal Reserve (The Fed) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuannya pada level stabil 4,25-4,5 persen dalam pertemuan terakhirnya pada Rabu (30/7) waktu setempat. Langkah ini, yang selaras dengan target inflasi The Fed sebesar 2 persen, diambil sembari bank sentral mencermati dengan saksama potensi dampak kebijakan tarif yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap berbagai indikator ekonomi di masa depan.
Menurut Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro, keputusan The Fed tersebut telah sesuai dengan ekspektasi pasar. Berbicara kepada Jawa Pos pada Kamis (31/7), Asmoro menyoroti kekhawatiran The Fed bahwa tarif impor yang digagas Donald Trump berpotensi memicu lonjakan inflasi. Hal ini dikarenakan beban pajak impor kemungkinan besar akan ditanggung langsung oleh konsumen.
Di tengah dinamika ini, bank sentral AS tersebut mengakui adanya tingkat ketidakpastian yang tinggi terkait prospek ekonomi nasional. Indikator terbaru memang menunjukkan perlambatan signifikan pada aktivitas ekonomi AS, dengan pertumbuhan hanya 3 persen di kuartal II 2025, menyusut 0,5 persen dari periode sebelumnya, mengindikasikan tekanan pada paruh pertama tahun 2025.
Berdasarkan proyeksi terbaru, The Fed memperkirakan bahwa inflasi personal consumption expenditures (PCE) AS akan mencapai 3 persen pada tahun 2025. Angka ini menegaskan adanya tekanan harga yang masih tinggi, terutama terasa di sektor jasa dan perumahan, yang menjadi fokus utama dalam pertimbangan kebijakan moneter.
Meskipun demikian, The Fed masih tetap pada proyeksinya untuk melakukan dua kali pemangkasan suku bunga di tahun ini, masing-masing sebesar 25 basis poin (bps). Di pasar keuangan, ekspektasi terhadap pemangkasan suku bunga pada September 2025 cukup tinggi, dengan kemungkinan mencapai 50,4 persen, mencerminkan antisipasi investor terhadap relaksasi kebijakan moneter.
Andry Asmoro menjelaskan bahwa keputusan The Fed ini langsung berdampak pada kenaikan imbal hasil US Treasury dan penguatan dolar AS (USD). Saat ini, para pembuat kebijakan The Fed tampak mengambil pendekatan ‘wait and see’, dengan cermat memantau bagaimana tarif dagang Trump akan memengaruhi target inflasi 2 persen di tengah bayang-bayang kekhawatiran perang dagang global.
“Sampai terdapat kepastian mengenai pemangkasan suku bunga, pasar keuangan akan tetap bergejolak,” tegas Asmoro, alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1995, menyoroti ketidakpastian yang masih melingkupi pasar.
Bagi pasar domestik, Asmoro melanjutkan, sinyal bahwa The Fed belum akan memangkas suku bunga menjadikan dolar AS (USD) tetap sangat menarik bagi investor global. Kondisi ini secara alami mengarahkan aliran modal untuk terus berinvestasi pada aset berdenominasi USD, yang pada gilirannya memberikan tekanan signifikan pada nilai tukar rupiah di pasar.
Selain itu, ketiadaan insentif dari suku bunga rendah di AS masih menghambat kembalinya arus modal asing ke Indonesia. Asmoro memproyeksikan rupiah berpotensi bergerak dalam kisaran Rp 16.375-16.460 per USD, sementara imbal hasil obligasi pemerintah (SBN) tenor 10 tahun diperkirakan akan stabil di kisaran 6,5-6,7 persen.
Secara terpisah, kantor ekonom Bank Mandiri memperkirakan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Juli 2024 akan mengalami kenaikan menjadi 2,44 persen secara tahunan (year-on-year). Sementara itu, inflasi bulanan diperkirakan akan meningkat sebesar 0,38 persen.
Kenaikan inflasi IHK ini didorong utamanya oleh kenaikan harga pangan, terutama komoditas seperti beras, cabai rawit, bawang merah, dan daging ayam. Selain itu, efek musiman dari pengeluaran pendidikan juga turut berkontribusi, seiring dengan periode pembayaran uang sekolah.
“Komponen pendidikan diperkirakan meningkat sedikit di atas kenaikan musiman tahun lalu, yang turut mendorong inflasi utama (headline),” pungkas Asmoro, menegaskan faktor-faktor yang mempengaruhi lonjakan harga.