Sumbing Memanggil: Mitos, Pendakian, dan Pengalaman Tak Terlupakan!

Setiap pendakian gunung selalu menawarkan cerita dan makna tersendiri yang tak terlupakan. Namun, petualangan kami kali ini, menaklukkan Gunung Sumbing, salah satu gunung berapi aktif yang menjulang di Jawa Tengah, terasa jauh berbeda. Tantangan yang kami hadapi ternyata tidak hanya berasal dari medan yang terjal, melainkan juga dari sebuah mitos kuno yang masih mengakar kuat di kalangan para pendaki, khususnya terkait keberadaan wanita yang sedang datang bulan.

Persiapan dan Kecemasan Awal

Kisah ini bermula saat salah seorang teman dekat kami, sebut saja Ica, memberitahu bahwa ia sedang dalam masa menstruasi di tengah rencana pendakian Gunung Sumbing. Awalnya, aku tak terlalu ambil pusing. Kami sering mendaki bersama, dan hal ini tidak pernah menjadi penghalang berarti. Namun demikian, kabar tersebut menyebar di antara teman-teman kami, dan bisikan tentang mitos larangan mendaki bagi wanita haid mulai terdengar. Konon, gunung akan “murka” jika ada pendaki wanita yang sedang menstruasi, yang bisa memancing kehadiran penunggu gaib, memicu hujan badai tak terduga, kabut tebal yang menyesatkan, atau bahkan serangkaian kejadian mistis lainnya.

Aku berusaha sekuat tenaga menenangkan Ica, meyakinkannya bahwa itu hanyalah takhayul belaka. Meski begitu, di lubuk hatiku sendiri, secuil kekhawatiran mulai menyelinap. Bagaimana jika mitos itu benar adanya? Bagaimana jika pendakian kami benar-benar terganggu karena hal ini?

Perjalanan Penuh Tantangan dan Kejadian Tak Terduga

Dengan semangat membara, kami memulai pendakian Gunung Sumbing. Jalur gunung ini memang terkenal menantang, dengan tanjakan-tanjakan curam yang menguras energi. Di awal perjalanan, cuaca sangat cerah dan bersahabat, menambah optimisme kami. Namun, seiring kami menapaki pos demi pos, langit mulai menunjukkan perubahan drastis. Kabut tebal perlahan turun, disusul rintik hujan yang tak lama kemudian berubah menjadi guyuran deras.

Beberapa kali kami terpaksa berhenti dan mencari perlindungan. Angin bertiup kencang, menusuk tulang dan membuat suhu semakin dingin. Ica, yang tadinya tenang, mulai terlihat gelisah. “Jangan-jangan ini gara-gara aku ya?” bisiknya, nada suaranya dipenuhi ketakutan. Aku mencoba menenangkan pikirannya, mengingatkan bahwa cuaca pegunungan memang sulit diprediksi. Namun, bayangan mitos pendaki itu terus menghantuiku. Puncaknya, saat kami hampir mencapai area perkemahan, badai hujan turun dengan sangat lebat, disertai sambaran petir yang menggelegar di kejauhan. Kami bergegas membangun tenda, berharap cuaca segera membaik. Malam itu, dingin menggigit dan keputusasaan mulai menyelimuti. Berkali-kali aku menangkap pandangan Ica yang gelisah, seolah pikiran yang sama tengah melanda dirinya.

Mematahkan Mitos, Menemukan Realita

Pagi harinya, setelah badai akhirnya mereda, kami memutuskan untuk melanjutkan summit attack menuju puncak Sumbing. Meskipun langit masih diselimuti awan mendung, semangat kami kembali membumbung tinggi. Dengan segenap daya, kami berhasil mencapai puncak Sumbing, disambut pemandangan lautan awan yang begitu memukau dan luar biasa indahnya.

Saat beristirahat di puncak, merenungkan seluruh perjalanan kami, sebuah kesadaran penting menghampiri. Kejadian tak terduga yang kami alami, seperti badai hujan dan kabut tebal, bukanlah ulah dari menstruasi Ica. Sebaliknya, itu adalah bagian alami dari dinamika alam pegunungan yang tak terduga. Cuaca di gunung memang terkenal cepat berubah, dan sebagai seorang pendaki gunung, kesiapan menghadapi segala kemungkinan adalah kunci. Mitos-mitos semacam ini mungkin berakar dari kepercayaan lama atau upaya menumbuhkan rasa hormat terhadap alam, namun terlalu sering mitos justru menimbulkan kecemasan yang tidak perlu, bahkan berujung pada diskriminasi.

Pelajaran Berharga dari Puncak Sumbing

Pengalaman mendaki Gunung Sumbing bersama Ica telah memberikan kami beberapa pelajaran esensial:

1. Pentingnya Persiapan Fisik dan Mental: Lebih dari sekadar mitos, kesiapan fisik dan mental adalah pondasi utama untuk keselamatan dan kenyamanan saat mendaki gunung.

2. Menghormati Alam, Bukan Menakutinya: Alam memiliki kekuatan dan keindahan yang dahsyat. Kita harus menghormatinya dengan menjaga kebersihan dan mematuhi aturan yang ada, bukan dengan ketakutan pada mitos yang tidak memiliki dasar.

3. Mematahkan Stigma: Menstruasi adalah proses alami dan normal bagi wanita. Tidak seharusnya hal ini menjadi penghalang atau stigma yang menghambat wanita dalam melakukan aktivitas apapun, termasuk mendaki gunung.

4. Kebersamaan dan Dukungan: Dalam menghadapi situasi sulit dan tantangan pendakian, dukungan tulus dari teman seperjalanan sangatlah vital. Saling menguatkan adalah kunci untuk mencapai tujuan bersama.

Pada akhirnya, pendakian Gunung Sumbing kali ini tidak hanya meninggalkan jejak langkah di puncaknya, tetapi juga menorehkan jejak pelajaran berharga di hati kami. Mitos mungkin akan selalu ada, namun pada akhirnya, logika, persiapan yang matang, dan saling mendukunglah yang akan mengantarkan kita pada pengalaman mendaki yang aman, berkesan, dan penuh makna. Yang terpenting, setiap wanita berhak merasakan indahnya berdiri di puncak gunung, tanpa perlu terkekang oleh mitos-mitos yang tak berdasar.

You might also like