Di tengah dinamika pasar keuangan global yang terus bergejolak, nilai tukar rupiah menunjukkan sinyal penguatan pada pembukaan perdagangan Kamis di Jakarta. Mata uang Garuda ini menguat tujuh poin atau 0,04 persen menjadi Rp 16.610 per dolar AS, dari posisi sebelumnya Rp 16.617. Menyoroti kondisi ini, Kepala Ekonom Permata Bank, Josua Pardede, memperkirakan kurs rupiah akan diperdagangkan dalam kisaran yang cukup ketat, yakni antara Rp 16.575 hingga Rp 16.700 per dolar Amerika Serikat.
Proyeksi Josua Pardede, yang disampaikan pada Kamis (30/10/2025), tak lepas dari kebijakan moneter yang diambil oleh bank sentral Amerika Serikat. Ia menjelaskan bahwa pasar telah banyak mengantisipasi langkah Federal Open Market Committee (FOMC) yang akan memangkas suku bunga acuan pada Oktober 2025. Namun, perhatian investor kini lebih terfokus pada arahan mengenai potensi arah kebijakan suku bunga The Fed di masa mendatang, yang akan menjadi kunci bagi pergerakan pasar selanjutnya.
Pada rapat FOMC yang telah berlangsung, The Federal Reserve (The Fed) memang memutuskan untuk memangkas Fed Funds Rate (FFR) sebesar 25 basis poin (bps). Dengan pemangkasan ini, kisaran target FFR kini berada di 3,75–4 persen, turun dari sebelumnya 4–4,25 persen. Menariknya, keputusan ini tidak bulat dan menghasilkan dua pandangan berbeda atau dissenting opinion. Gubernur Stephen Miran mendukung pemotongan yang lebih agresif, yaitu 50 bps, sejalan dengan sikapnya pada rapat FOMC sebelumnya. Sebaliknya, Presiden The Fed Kansas City, Jeff Schmid, memilih untuk mempertahankan suku bunga agar tidak berubah.
Dalam pidato pascarapatnya, Ketua The Fed, Jerome Powell, memberikan sinyal kehati-hatian yang patut dicermati. Ia menegaskan bahwa pemotongan suku bunga The Fed pada Desember 2025 bukanlah sebuah kepastian. Pernyataan ini mencerminkan sikap konservatif di tengah tanda-tanda pelemahan di pasar tenaga kerja AS. Powell juga menyoroti bahwa tingkat inflasi di AS masih tergolong tinggi jika dibandingkan tahun sebelumnya, meskipun pertumbuhan ekonomi AS tetap moderat.
Meskipun Powell menunjukkan nada yang berhati-hati, Josua Pardede mencatat adanya konfirmasi penting: The Fed akan mengakhiri program quantitative tightening (pengetatan kuantitatif) pada Desember 2025. Mengacu pada komentar Powell tersebut, investor cenderung menilai bahwa akan muncul ekspektasi pelonggaran kebijakan moneter lebih lanjut. Namun, hal ini tidak serta-merta meningkatkan keyakinan akan pemangkasan suku bunga segera. Menurut perangkat FedWatch, probabilitas penurunan suku bunga kembali pada Desember 2025 justru menurun signifikan menjadi sekitar 65 persen, dari yang sebelumnya sekitar 80 persen sebelum pertemuan FOMC.