
MANADO – Rencana ambisius reklamasi Teluk Manado seluas 90 hektare yang kini telah bergerak maju, mulai menyisakan duka mendalam bagi warga lokal. Khususnya, mereka yang kerap meluangkan waktu berlibur, bermain, atau sekadar menikmati kesegaran air di Pantai Karangria, kini harus menghadapi kenyataan pahit.
Berlokasi strategis di Kecamatan Tuminting, Pantai Karangria merupakan salah satu permata pesisir yang diproyeksikan akan tergusur oleh megaproyek reklamasi Teluk Manado ini. Keberadaannya sebagai ruang publik gratis terancam hilang.
Kabar mengenai proyek ini sontak menimbulkan kesedihan mendalam di kalangan masyarakat. Rusli, seorang warga yang rutin mengajak keluarganya berlibur di hamparan pasir luas Pantai Karangria, mengungkapkan kekecewaannya. Ia merasa terpukul saat mengetahui bahwa pantai kesayangannya itu akan direklamasi oleh pihak swasta dengan dukungan penuh dari pemerintah.
Bagi Rusli, Pantai Karangria adalah satu-satunya oase wisata laut gratis yang tersisa di Kota Manado, Sulawesi Utara. Ia membandingkannya dengan Pantai Malalayang yang sebelumnya juga telah direklamasi dan kini bertransformasi menjadi kawasan Malalayang Beach Walk berbayar. Hilangnya Karangria berarti pupusnya akses mudah masyarakat terhadap keindahan pesisir.
“Jika Pantai Karangria turut direklamasi, maka tidak akan ada lagi opsi wisata laut gratis di Manado,” tutur Rusli dengan nada prihatin. “Kami dipaksa membayar hanya untuk sekadar memandang lautan, sebab area pesisir pantai yang menjadi ruang bebas sudah tertimbun material batu dan tanah.” Pernyataan ini menegaskan kekhawatiran akan hilangnya hak dasar masyarakat menikmati alam.
Kisah pilu serupa juga datang dari Denny, seorang penderita stroke yang merasakan manfaat luar biasa dari Pantai Karangria. Ia mengaku kondisinya membaik setelah rutin melakukan terapi pasir di sana. Menurut Denny, tempat ini adalah sebuah anugerah bagi para pasien stroke, memungkinkan mereka menjalani terapi penyembuhan secara cuma-cuma tanpa beban biaya.
Denny menceritakan, saat ia masih berjuang melawan stroke, ia mengikuti saran teman-temannya untuk mencoba terapi pasir di Pantai Karangria. Betapa terkejutnya ia menemukan banyak penderita stroke lain yang juga datang mencari kesembuhan di sana, dan banyak di antara mereka yang menunjukkan kemajuan berarti.
“Saya terkejut saat pertama kali tiba dan melihat begitu banyak penderita stroke sedang menjalani terapi pasir,” ujar Denny mengenang. “Puji Tuhan, setelah beberapa kali terapi di sana, kondisi saya berangsur pulih. Sungguh menyedihkan mendengar kabar reklamasi ini, sebab Pantai Karangria adalah satu-satunya pesisir pantai di Manado yang masih bisa diakses secara cuma-cuma, menjadi harapan bagi banyak orang.”
Di tengah kegelisahan warga, gelombang penolakan terhadap reklamasi Teluk Manado terus bergulir. Para nelayan dan masyarakat yang menggantungkan hidupnya di sekitar pesisir pantai bersikeras menentang proyek ini. Mereka khawatir, reklamasi tersebut tidak hanya akan mengikis ruang publik, tetapi juga secara langsung mematikan mata pencarian mereka yang telah lama bergantung pada kekayaan laut dan ekosistem pesisir.