Jakarta, IDN Times – Pasar saham global tengah diramaikan oleh fenomena yang disebut “Gelembung AI” (AI Bubble). Valuasi perusahaan-perusahaan yang terkait dengan kecerdasan buatan (AI) melonjak tinggi, memicu pertanyaan apakah harga saham tersebut sejalan dengan kinerja fundamental perusahaan. Lonjakan fantastis ini menimbulkan perdebatan sengit tentang ekspektasi yang terlalu tinggi di sektor AI.
Banyak analis melihat kemiripan situasi saat ini dengan masa-masa sebelum gelembung dot-com pecah. Kala itu, optimisme investor mengalahkan pertimbangan risiko yang mungkin muncul. Data-data yang ada menunjukkan bahwa ini bukan sekadar tren pertumbuhan biasa, tetapi juga pertanyaan krusial tentang seberapa kuat pasar ini bertahan menghadapi tekanan. Berikut lima indikator yang mengisyaratkan adanya euforia berlebihan di pasar AI:

Rasio Harga terhadap Pendapatan (P/E) yang disesuaikan secara siklis, atau dikenal sebagai CAPE ratio, untuk indeks S&P 500 saat ini berada di level 38,55. Angka ini menunjukkan jurang yang semakin lebar antara harga saham dan pendapatan perusahaan, menandakan valuasi yang jauh melampaui kondisi normal. Para ahli berpendapat bahwa ekspektasi pasar tampak terlalu optimistis.
Mengutip USA Today, kondisi serupa hanya terjadi pada dua momen penting dalam sejarah: puncak gelembung dot-com dan menjelang krisis 1929. Kedua peristiwa tersebut menjadi pelajaran berharga tentang risiko yang muncul ketika harga saham melambung terlalu tinggi. Situasi ini memperkuat kekhawatiran bahwa pasar saat ini berada dalam fase yang sangat sensitif.
Biasanya, pasar saham bergerak naik seiring dengan pertumbuhan pendapatan perusahaan. Rasio P/E yang ekstrem jarang terjadi. Ketika ketimpangan seperti ini muncul, potensi bentrokan antara keyakinan investor dan kinerja riil perusahaan semakin besar.

Kelompok “Magnificent Seven”, yang terdiri dari perusahaan teknologi raksasa seperti Nvidia, menjadi motor utama penguatan pasar dalam satu dekade terakhir. Menurut perusahaan konsultan keuangan dan investasi, The Motley Fool, saham-saham kelompok ini mencatat pertumbuhan luar biasa sebesar 698 persen dari tahun 2015 hingga 2024. Sebagai perbandingan, indeks S&P 500 hanya naik 178 persen pada periode yang sama. Perbedaan signifikan ini menunjukkan konsentrasi pertumbuhan yang sangat besar pada segelintir perusahaan.
Optimisme yang meluas terhadap AI menjadi pendorong utama lonjakan ini. Nvidia, misalnya, mengalami peningkatan nilai pasar hingga 300 persen dalam dua tahun terakhir. Sentimen positif ini menunjukkan bagaimana ekspektasi terhadap AI memengaruhi arah indeks secara keseluruhan. Kenaikan tajam ini juga mengindikasikan betapa pasar sangat bergantung pada perkembangan di sektor teknologi.
Dominasi segelintir perusahaan menimbulkan pertanyaan tentang keberlanjutan tren ini. Ketika hanya beberapa pemain besar yang mengendalikan arah indeks, risiko volatilitas pasar juga meningkat.

Dilansir dari Nature, investasi di sektor AI saat ini 17 kali lebih besar daripada pendanaan perusahaan internet sebelum gelembung dot-com pecah. Skala investasi yang sangat besar ini menunjukkan derasnya arus modal yang masuk ke teknologi AI, sehingga banyak pihak menyebutnya sebagai salah satu lonjakan terbesar dalam sejarah industri.
Nilai pasar Nvidia yang mencapai 4,6 triliun dolar AS (setara Rp76.783 triliun) setara dengan nilai ekonomi beberapa negara besar, kecuali Amerika Serikat, China, dan Jerman. Perbandingan ini sering digunakan untuk menggambarkan seberapa cepat aset-aset terkait AI mengalami kenaikan nilai. Gambaran ini juga menunjukkan besarnya bobot industri AI dalam pasar global saat ini.
Rencana pengeluaran OpenAI sebesar 1,4 triliun dolar AS (setara Rp23.368 triliun) untuk pembangunan pusat data selama delapan tahun mencerminkan laju ekspansi yang luar biasa. Selain itu, Amazon, Google, Meta, dan Microsoft mengalokasikan total 400 miliar dolar AS (setara Rp6.676 triliun) tahun ini untuk inisiatif AI, terutama pengembangan infrastruktur pusat data.

Beberapa pimpinan perusahaan teknologi, termasuk CEO Nvidia Jensen Huang, menyatakan bahwa mereka tidak melihat adanya tanda-tanda gelembung dalam situasi saat ini. Pendapat serupa juga disampaikan oleh David Sacks, seorang White House AI czar dan venture capitalist, yang menilai bahwa tren yang sedang berlangsung masih dalam batas yang wajar.
“Saya tidak berpikir ini adalah awal dari siklus kehancuran,” kata Sacks, dikutip dari NPR.
Pernyataan-pernyataan ini kembali memicu diskusi tentang arah pasar AI dan menarik perhatian para investor. Respons ini menunjukkan bahwa opini para pemimpin industri masih cukup optimistis terhadap prospek sektor ini.
Namun, sejumlah pakar justru menyuarakan kehati-hatian. Paul Kedrosky, seorang venture capitalist dan peneliti di MIT’s Institute for the Digital Economy, mengakui bahwa perkembangan AI memang bermanfaat, tetapi kecepatannya mulai melambat. Daron Acemoglu, ekonom MIT dan penerima Nobel Memorial Prize in Economic Sciences 2024, menilai bahwa sejumlah klaim industri terlalu dilebih-lebihkan.
Sam Altman dari OpenAI menegaskan bahwa antusiasme investor sudah melewati batas, meskipun AI tetap penting bagi masa depan. Sundar Pichai dari Google menyoroti adanya unsur irasional dalam pergerakan pasar. Jerome Powell, Ketua The Fed, mengingatkan bahwa valuasi saham saat ini cukup tinggi, sementara Jamie Dimon dari JPMorgan Chase mengatakan bahwa sejumlah aset mulai memasuki wilayah gelembung.

Perusahaan teknologi hyperscaler mencatat kenaikan utang sebesar 121 miliar dolar AS (setara Rp2.019 triliun) sepanjang tahun terakhir, meningkat lebih dari tiga kali lipat dari beban utang biasanya. Dana ini digunakan untuk pembangunan pusat data berskala besar untuk menopang pertumbuhan layanan AI. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran tentang keberlanjutan finansial sektor ini dalam jangka panjang.
Sebagian perusahaan memanfaatkan Special Purpose Vehicle (SPV) untuk mendanai fasilitas tersebut sehingga tidak langsung tercatat di neraca keuangan. Contohnya adalah kerja sama antara Blue Owl Capital dan Meta yang menghasilkan pinjaman 27 miliar dolar AS (setara Rp450 triliun) untuk pusat data di Louisiana. Skema ini memungkinkan Meta mendapatkan kapasitas komputasi tanpa menambah catatan utang konvensional.
Gil Luria dari D.A. Davidson investment firm memperingatkan risiko ketika ekspansi AI tidak berjalan sesuai perkiraan. Menurutnya, perusahaan bisa menanggung biaya miliaran dolar AS jika pusat data tersebut tidak digunakan secara maksimal, yang berpotensi menimbulkan kerugian besar dalam waktu singkat. Morgan Stanley memperkirakan pengeluaran Big Tech untuk infrastruktur AI mencapai 3 triliun dolar AS (setara Rp50.076 triliun) hingga 2028, sementara arus kas hanya mampu menutupi setengahnya.
Tekanan finansial seperti ini berpotensi menciptakan kelebihan kapasitas yang sulit diserap jika permintaan tidak tumbuh. Dalam kondisi tersebut, nilai utang dapat merosot drastis dan memicu kerugian bagi lembaga keuangan yang terlibat.
5 Transformasi Pasar Saham akibat AI dan Dampaknya untuk Keuanganmu Asing Kembali Masuk, Arus Modal Rp13,07 T Balik ke Pasar Saham RI 3 Tips Aman Berinvestasi di Pasar Saham saat Harga Sedang Naik