Park Guell Barcelona: Rahasia Tersembunyi, Tips Liburan Hemat!

Hari terakhir saya di Barcelona. Seperti biasa, saya terbangun pagi sekali, kali ini di sebuah kamar apartemen sederhana namun nyaman di kawasan Collblanc. Destinasi saya hari ini adalah Park Guell, sebuah taman yang terkenal bagai dunia fantasi dan mimpi, mahakarya seorang jenius bernama Gaudí, yang begitu gemar menciptakan bangunan melengkung. Saya sudah membeli tiketnya secara daring dengan rentang kedatangan sekitar pukul 10 pagi, sebuah langkah yang selalu memberikan ketenangan pikiran.

Setelah mandi dan sarapan ringan, saya berjalan kaki menuju stasiun Metro Collblanc. Jalur ini sudah tidak asing lagi, mengingat ini bukan hari pertama saya menjelajahi kota ini dengan metro. Saya turun di Diagonal, lalu melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju halte bus 24. Pagi itu, Barcelona masih terasa agak dingin, namun mentari telah mulai naik. Bus pun tiba tak lama kemudian, dan saya memilih duduk di dekat jendela, menikmati pemandangan tanjakan menuju bukit El Carmel. Jalanan mulai berkelok-kelok, dan dari dalam bus, panorama kota Barcelona terlihat semakin mengecil. Rumah-rumah rapat di lereng bukit, pepohonan mulai mendominasi, menciptakan suasana kota yang berangsur berubah menjadi taman, namun bukan taman biasa.

Setibanya di tujuan, saya mengikuti rombongan orang-orang yang tampaknya memiliki tujuan yang sama: Park Guell. Hanya lima menit berjalan kaki, saya tiba di depan gerbang utama, dan di sanalah segalanya terasa begitu magis. Dua bangunan kecil berdiri menyerupai rumah kue, dengan atap berbentuk meleleh, serta dinding dari batu dan pecahan keramik warna-warni yang memukau. Rasanya seperti melangkah masuk ke dalam dunia film anak-anak, namun ini adalah kenyataan di depan mata. Bentuknya sekilas memang seperti rumah permen, tetapi dibangun oleh seniman yang benar-benar mabuk warna dan bentuk. Itu adalah Porter’s Lodge; salah satu rumah dulunya berfungsi sebagai kantor tiket, sementara yang lainnya kini menjadi toko suvenir. Saya tidak terburu-buru masuk, melainkan berhenti sejenak, menatap, dan tersenyum sendiri. “Gaudí memang gila,” batin saya.

Saya sempat duduk sebentar di bangku dekat situ, mengamati orang-orang yang sibuk berfoto, berswafoto, dan saling bertukar kamera. Akhirnya, saya pun ikut mengabadikan beberapa momen, karena tempat ini terlalu indah untuk dilewatkan. Namun, sebagian besar waktu saya habiskan untuk duduk dan menikmati pemandangan. Perlahan, saya melanjutkan perjalanan menaiki anak tangga, dan tak lama kemudian bertemu dengan “makhluk terkenal” yang ikonik—patung salamander warna-warni, yang dalam brosur dan internet dikenal sebagai El Drac. Orang-orang antre untuk berfoto bersamanya, dan saya pun menunggu cukup lama demi mendapatkan gambar tanpa terlalu banyak keramaian. El Drac ini terbuat dari mozaik keramik pecah atau trencadís, yang merupakan ciri khas karya Gaudí yang begitu unik. Patung itu sangat memukau, lucu, penuh warna, dan ternyata merupakan bagian dari sistem drainase air di taman ini.

Setelah beristirahat sejenak, perjalanan dilanjutkan kembali. Saya tiba di sebuah bangunan bertiang yang besar dan teduh. Nama resminya—yang kemudian saya cari—adalah Sala Hipòstila, sebuah ruang luas dengan 86 kolom Doric yang besar, kokoh, namun tidak terasa mengintimidasi. Saya melangkah pelan, seolah memasuki kuil, meskipun konon tempat ini mulanya dirancang sebagai pasar tertutup di awal abad ke-20. Di langit-langit, mozaik-mozaik berbentuk matahari, bintang, dan lingkaran kehidupan menciptakan pemandangan yang indah. Cahaya masuk dari sela-sela kolom, menciptakan bayangan yang bergeser perlahan. Orang-orang bersandar di kolom, duduk, dan berbicara pelan. Saya pun ikut terdiam, karena di tempat seperti ini, keheningan adalah cara paling sopan untuk menghormati keindahan. Bentuknya simetris, namun tetap terasa aneh, terutama karena atapnya yang unik. Di tempat ini, banyak pengunjung duduk di tangga, ada yang berbincang, ada pula yang hanya berdiam diri seperti saya. Saya sangat menyukai tempat ini; rasanya sejuk, dan suara langkah kaki bergema pelan. Udara pagi masih segar, dan meskipun banyak orang, suasananya tidak bising. Seandainya saya tidak harus meninggalkan Barcelona sore nanti, mungkin saya akan duduk lebih lama di sini.

Saya melanjutkan perjalanan, kembali menanjak, hingga tiba di lapangan terbuka dengan bangku panjang yang melengkung mengikuti pinggirannya. Tempat ini dinamakan Plaza de la Natura. Permukaannya juga dihias dengan mozaik keramik. Saya langsung mencari tempat duduk, dan ternyata sangat nyaman sekali duduk di bangku itu, rasanya seperti punggung dipeluk. Dari tempat duduk saya, sebagian besar kota Barcelona terlihat jelas, termasuk bangunan Sagrada Família yang masih dalam tahap pembangunan di kejauhan. Angin bertiup pelan, dan saya sempat terdiam terpaku selama beberapa menit, seolah dunia berhenti berputar.

Saya kemudian melanjutkan langkah ke sisi taman yang lebih tenang. Di bagian ini, terdapat jalur setapak dengan dinding batu yang melengkung dan menyatu dengan bukit. Beberapa bagian berbentuk seperti terowongan pendek, di mana orang bisa berjalan di bawah bebatuan melengkung yang megah—sungguh keren, seperti berjalan di antara akar-akar pohon raksasa. Saya melewati beberapa titik pandang yang mengarah ke bukit dan laut. Namun, yang paling menarik justru adalah sudut-sudut sepi yang tidak dilalui banyak orang. Di sana terdapat pohon-pohon besar, bangku-bangku tersembunyi, dan sesekali terdengar alunan gitar dari musisi jalanan yang bermain pelan. Di bagian Park Guell ini, alam dan arsitektur saling mengalah, bukan saling menaklukkan. Gaudí membangun bukan di atas alam, melainkan bersama alam.

Langkah saya perlahan, tak ingin terburu-buru. Waktu seolah melambat di tempat yang tidak mengenal sudut tajam; semuanya melengkung, seolah menolak garis lurus yang kaku. Tidak jauh dari sana, berdiri sebuah rumah berwarna merah muda, yang konon dulunya merupakan tempat tinggal Gaudí sendiri, dikenal sebagai Casa Museu Gaudí. Saya membayangkan seorang tua, sendirian, berjalan keluar rumah setiap pagi, menatap taman yang ia bangun. Apakah ia bangga? Apakah ia kesepian? Saya tidak tahu. Namun, saya tahu bahwa saya duduk di tempat di mana sejarah bukan sekadar dongeng.

Saya tidak masuk ke dalam rumah tersebut, selain karena waktu yang mepet, juga karena rumah ini sedang direnovasi. Namun, saya duduk sebentar di depan rumah itu, membayangkan bagaimana rasanya hidup di tengah taman seperti ini. Setiap pagi terbangun, melihat mozaik warna-warni, mendengar kicauan burung, dan kota di kejauhan. Mungkin tenang, mungkin juga sepi. Sebelum keluar dari area taman utama, saya mampir ke kafe kecil di pojok. Saya memesan kopi, lalu duduk di meja luar. Di sekeliling saya, ada turis dari berbagai negara, ada yang berbincang, ada pula yang asyik dengan dunianya sendiri seperti saya. Saya menyesap kopi pelan-pelan. Ini adalah salah satu momen yang rasanya sulit diulang, bukan karena kopinya luar biasa, tetapi karena suasananya: udara pagi yang segar, sedikit bayangan pohon, dan hati yang tenang. Padahal seharian kemarin saya sudah lelah berjalan, namun pagi ini rasanya pulih total.

Saya sadar waktu semakin siang. Jam di ponsel menunjukkan hampir pukul satu. Saya harus kembali ke penginapan, mengambil koper, dan bersiap menuju bandara. Sore ini, saya akan terbang menuju Lisboa. Saya berjalan pelan menuju pintu keluar, sempat melihat-lihat toko suvenir, tetapi tidak membeli apa pun. Rasanya saya sudah cukup membawa pulang sesuatu yang lebih berharga: pengalaman. Kadang kala, yang paling berkesan justru bukan oleh-oleh yang bisa disentuh.

Perjalanan ke Park Guell itu bukan sekadar melihat-lihat bangunan unik, melainkan juga tentang bagaimana kita pelan-pelan merasa kecil di tengah karya besar seseorang. Gaudí bukan cuma seorang arsitek; ia seperti orang yang berhasil mengubah imajinasi menjadi ruang nyata. Lengkungan, warna, batu, semuanya memiliki maksud, namun juga mengalir bebas. Saya naik bus 24 lagi, turun di bawah, lalu melanjutkan dengan metro kembali ke Collblanc. Di dalam kereta, saya duduk diam, membayangkan ulang semua yang saya lihat tadi pagi. Rasanya seperti mimpi singkat, tetapi nyata. Dan seperti semua mimpi yang menyenangkan, kita pasti ingin mengulanginya lagi suatu hari.

Setiap orang yang berkunjung ke Barcelona biasanya akan menyempatkan diri ke La Sagrada Família. Namun, ada baiknya sisakan satu pagi untuk mendaki ke Park Guell. Bukan karena wajib, tetapi karena kadang kita butuh duduk di bangku lengkung, memandang kota dari kejauhan, dan merasa bahwa tidak semua hal harus lurus-lurus saja. Selain itu, rasanya tidak lengkap jika sudah mampir ke La Sagrada Família tetapi tidak menyambangi Park Guell sebagai salah satu destinasi wisata paling ikonis di kota ini.

You might also like