BI Rate Stabil! Apa Artinya untuk Ekonomi Akhir Tahun Ini?

Membaca Ulang Langkah BI, The Fed, dan Fiskal Indonesia

Di tengah hiruk pikuk pasar global yang kehilangan irama, Indonesia berdiri di persimpangan jalan. Stabilitas, kepercayaan, dan kemampuan membaca arah angin menjadi kunci utama dalam menghadapi gelombang perubahan yang dipicu oleh tiga kekuatan besar: Bank Indonesia (BI), The Federal Reserve (The Fed), dan kebijakan fiskal negara.

Dalam dunia ekonomi, tidak ada yang benar-benar statis. Bahkan di balik permukaan yang tenang, riak-riak kecil terus bekerja, membentuk gelombang dahsyat yang siap menerjang.

Pekan ini, Indonesia kembali diuji. BI memilih untuk mempertahankan suku bunga acuan, The Fed menunjukkan keraguan yang jarang diperlihatkan, sementara kebijakan fiskal Indonesia mengisyaratkan stabilitas, setidaknya untuk saat ini.

Di tengah ketidakpastian ekonomi global, ketiga kekuatan ini memainkan peran masing-masing dalam panggung yang sama. Pertanyaannya adalah, mampukah Indonesia membaca irama perubahan ini sebelum badai berikutnya datang menerjang?

Refleksi: Mengapa Momen Ini Terasa Berbeda?

Penghujung tahun 2025 menyuguhkan dinamika yang tak biasa. Bukan sekadar volatilitas pasar global yang meningkat atau pergerakan harga yang tak terduga.

Lebih dari itu, momen ini terasa berbeda karena keputusan-keputusan penting diambil hampir bersamaan, seolah dunia menahan napas, menunggu siapa yang berani mengambil langkah pertama.

Keputusan Bank Indonesia untuk mempertahankan BI-Rate di angka 4,75% bukanlah sekadar keputusan netral. Ini adalah pernyataan sikap. Sebuah sinyal bahwa prioritas utama Indonesia saat ini adalah menjaga stabilitas di tengah gejolak global yang semakin sulit diprediksi, bukan hanya memacu pertumbuhan ekonomi semata.

Rupiah membutuhkan jangkar. Pasar membutuhkan kepastian. Dan BI memilih untuk memainkan peran tersebut.

BI: Menahan untuk Menjaga Nafas Indonesia

Gubernur BI, Perry Warjiyo, sangat memahami risiko dilematis yang dihadapi:

* Terlalu cepat menurunkan suku bunga dapat menggoyahkan nilai rupiah dan memicu arus modal keluar (capital outflow).
* Terlalu lama menahan suku bunga dapat menghambat pemulihan ekonomi, mengerem konsumsi, dan memperlambat dampak pelonggaran yang telah dilakukan sebelumnya.

Sejak September 2024, BI telah menurunkan suku bunga sebanyak 150 basis poin (bps). Oleh karena itu, kehati-hatian menjadi langkah yang rasional.

Inflasi yang terkendali memang memberikan ruang untuk pelonggaran lebih lanjut. Namun, risiko eksternal, terutama dari Amerika Serikat, membuat BI enggan mengambil risiko di tengah pasar yang sensitif. Dalam kondisi seperti ini, menahan diri adalah strategi yang paling tepat.

The Fed: Drama Kebijakan yang Menggetarkan Pasar Dunia

Risalah rapat The Fed pada 28-29 Oktober 2025 menampilkan ketegangan internal yang jarang terlihat. Dua kubu dengan pandangan berbeda muncul:

* Kubu yang menolak pemangkasan suku bunga lebih lanjut: Khawatir inflasi akan kembali melonjak.
* Kubu yang membuka peluang pemangkasan suku bunga di bulan Desember: Melihat tanda-tanda perlambatan ekonomi yang memerlukan respons cepat.

Keputusan The Fed pada bulan Oktober untuk menurunkan suku bunga ke level 3,75-4,00% memberikan harapan bagi pasar global. Namun, harapan itu berubah menjadi kewaspadaan setelah risalah rapat dirilis.

Ketua The Fed, Jerome Powell, menegaskan bahwa pemangkasan suku bunga di bulan Desember bukanlah jaminan. Pasar yang semula memprediksi peluang sebesar 90% kini hanya memberikan peluang sebesar 33-50%.

Keputusan untuk mengakhiri quantitative tightening (QT) per 1 Desember semakin menambah dramatis cerita ini: The Fed menginginkan likuiditas yang longgar, tetapi tidak ingin inflasi kembali mengancam.

Drama inilah yang menjadi sorotan dunia, dan semua orang mengikutinya dengan cemas.

Fiskal Indonesia: Pesan Tenang dari Purbaya

Di tengah hiruk pikuk kebijakan moneter global, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memberikan nada yang menenangkan:

“Defisit APBN 2025 tetap di bawah 3% PDB.”

Pernyataan sederhana, namun dampaknya signifikan:

* Investor membaca sinyal kehati-hatian.
* Pasar melihat bahwa pemerintah memegang kendali.
* Pelaku usaha memahami bahwa kebijakan fiskal Indonesia tidak agresif.

Purbaya menjelaskan bahwa penempatan dana pemerintah di perbankan bukanlah “cetak uang baru”, melainkan mekanisme pengelolaan likuiditas. Ia juga menekankan perlunya percepatan belanja daerah untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang sehat.

Lalu, bagaimana dengan isu redenominasi?

“Bukan sekarang. Bukan tahun depan.”

Tegas. Menutup spekulasi yang berkembang.

Dalam panggung kebijakan nasional, fiskal Indonesia berperan sebagai penyeimbang.

Tiga Sumbu Kekuasaan: Satu Panggung, Satu Pesan

Jika ditarik benang merahnya, ketiga aktor utama ini—BI, The Fed, dan fiskal Indonesia—sebenarnya menyampaikan pesan yang sama:

“Kita memasuki fase ketidakpastian global yang intens. Setiap langkah harus diambil dengan presisi.”

* The Fed menjaga ritme global.
* BI menjaga stabilitas domestik.
* Fiskal Indonesia menjaga fondasi ekonomi tetap kokoh.

Mereka menggunakan bahasa yang berbeda, tetapi mengarah pada narasi yang sama: kepercayaan adalah aset termahal menjelang tahun 2026.

Stabilitas Itu Bukan Berdiam Diri

Stabilitas seringkali disalahartikan sebagai kondisi yang statis. Padahal, stabilitas adalah hasil dari serangkaian keputusan yang terus dievaluasi, diuji, dan disempurnakan setiap hari.

Di tengah gejolak ekonomi dunia yang bergerak tanpa irama, Indonesia memilih langkah yang hati-hati: waspada, stabil, dan fokus pada prioritas utama.

Arah angin global dapat berubah sewaktu-waktu. Gejolak dapat datang secara tiba-tiba. Investor dapat berpindah haluan hanya karena satu pernyataan dari Powell.

Namun, untuk saat ini, Indonesia telah menyiapkan pijakan yang kokoh: kebijakan moneter yang berhati-hati, kebijakan fiskal yang disiplin, dan arah kebijakan yang masih memiliki ruang untuk beradaptasi.

Tahun 2026 akan membawa babak baru. Dan ketika saat itu tiba, Indonesia tidak akan memulai dari nol, melainkan dari fondasi yang telah diperkuat sejak hari ini.

Penutup

Pada akhirnya, ekonomi bukan hanya tentang angka dan grafik, melainkan tentang kemampuan membaca tanda-tanda zaman. Dan di tengah dunia yang bergerak tanpa kepastian, negara yang berhasil bertahan bukanlah negara yang berlari paling cepat, tetapi negara yang paling mampu menjaga keseimbangan.

Di tengah gejolak ekonomi global menjelang tahun 2026, Indonesia mungkin tidak dapat mengendalikan arah angin.

Namun, Indonesia selalu dapat memilih bagaimana berdiri, bagaimana melangkah, dan bagaimana tetap tegak bahkan ketika badai kembali menerjang.

Penulis: Merza Gamal (Pemerhati Sosial Ekonomi Syariah)

You might also like