Lokasinya yang terbilang strategis di pusat kota ternyata diiringi dengan prosedur masuk yang cukup ketat. Bisa dibilang, Perpustakaan Bank Indonesia merupakan salah satu perpustakaan dengan aturan akses paling rinci yang pernah saya kunjungi. Hal ini wajar mengingat letaknya berada di area perkantoran Bank Indonesia, sehingga berbagai pengecekan keamanan menjadi prioritas utama.
Bagi kalangan mahasiswa tingkat akhir yang sedang berjibaku dengan skripsi, perpustakaan ini telah lama dikenal sebagai gudang referensi yang berharga. Namun, bagi masyarakat umum seperti saya, namanya memang belum setenar Perpustakaan Nasional atau Perpustakaan Jakarta. Kunjungan saya kali ini memiliki dua motivasi utama: menciptakan konten “Dari Perpus ke Perpus” bersama kompasianer Latipah Rahman, dan rasa penasaran akan reputasinya yang disebut-sebut “estetik”. Tak bisa dimungkiri, istilah “estetik” kini menjadi daya tarik yang kuat untuk mengundang orang mengunjungi suatu tempat.
Kami memulai petualangan dengan masuk melalui pintu gerbang Budi Kemuliaan, menukarkan kartu identitas pribadi dengan kartu pengunjung. Namun, alih-alih langsung menuju ke perpustakaan, kami memutuskan untuk mencari kantin terlebih dahulu. Rasanya kurang nyaman menikmati deretan buku-buku tebal dalam kondisi perut yang keroncongan. Siapa sangka, perjalanan menuju kantin BI ternyata jauh sekali. Kami harus melewati beberapa gedung dan pintu yang hanya bisa diakses oleh pegawai. Berkali-kali kami bertanya arah, dalam hati bertanya-tanya, “Ini kok rasanya nggak sampai-sampai, ya?” Beruntung, seorang pegawai BI yang baik hati akhirnya mengantar kami hingga ke tujuan. Setelah naik lift dan melewati lorong panjang, tibalah kami di kantin BI yang lokasinya memang di luar dugaan.
Di kantin yang luas dan mirip pujasera di mal ini, kami menikmati hidangan layaknya pegawai Bank Indonesia. Pilihan makanannya beragam, dan meskipun sudah agak sepi, beberapa pegawai masih terlihat menyelesaikan makan siangnya. Saya sempat berkelakar, “Ini kalau kantinnya sejauh ini memangnya pada mau ke kantin? Berangkat lapar, balik ke ruangan lapar lagi, nggak sih?” kepada Latipah. Usai melahap seporsi gado-gado, nasi kebuli, segelas es teh, dan secangkir kopi, kami melanjutkan salat zuhur di masjid yang lokasinya tak begitu jauh dari kantin. Ah, seperti inilah rasanya menjadi pegawai Bank Indonesia, batin saya.
Puas berkhayal, kami kembali pada agenda utama: menuju ke perpustakaan. Perjalanan kami dari kantin ke perpustakaan terasa seperti melintasi ujung ke ujung area kantor, persis seperti Biksu Tong Sam Chong yang tengah mencari kitab suci. Dalam perjalanan, kami sempat mencoba mengabadikan momen di depan tulisan “Bank Indonesia”. Baru saja satu atau dua jepretan, seorang petugas langsung menghampiri. Ternyata, mengambil foto di area perkantoran tidak diperbolehkan. Dengan kesadaran penuh, kami pun meminta maaf.
Perpustakaan BI berlokasi di menara Syafruddin Prawiranegara, tepatnya di lantai dua. Sebelum naik lift, kami terlebih dahulu menuju meja resepsionis, di mana seorang petugas perempuan menukarkan kartu tamu kami dengan kartu akses khusus untuk ke perpustakaan. Sisa waktu kami tinggal 2,5 jam. Proses makan siang, salat, dan perjalanan yang memakan waktu cukup banyak membuat kami harus masuk dengan sedikit terburu-buru.
Awalnya, kami mengira telah tiba di perpustakaan utama. Tempatnya memang terasa estetik, tetapi tidak terlalu luas. Koleksi bukunya didominasi oleh laporan keuangan dan literatur bertema ekonomi. Saya sempat merasa sedikit kecewa, berpikir, “Ini tidak terlalu sepadan untuk masyarakat umum, apalagi dengan prosedur masuk yang seribet tadi.” Menjelang pukul empat sore, kami memutuskan untuk pulang, agar tidak berbarengan dengan jam pulang pegawai. Namun, ada kejanggalan yang kami sadari. Di sebelah ruangan yang baru saja kami kunjungi, terdapat ruangan lain yang jauh lebih besar. Ternyata, itulah perpustakaan yang sesungguhnya!
Lalu, apa yang kami kunjungi sebelumnya? Rupanya, kami tadi masuk ke ruang perpustakaan riset. Pantas saja sempit dan koleksinya terlalu spesifik. Pembaca, mohon maaf atas kesalahpahaman ini. Begitu melangkah masuk ke perpustakaan utama, saya langsung paham mengapa banyak yang menyebutnya estetik. Area depannya saja sudah tertata menarik, apalagi area bacanya yang terlihat lucu, unik, dan dihiasi warna-warna cerah.
Koleksi buku di sini juga cukup lengkap dan beragam. Tak hanya buku-buku seputar keuangan, tetapi juga tersedia literatur fiksi dan sastra. Saya menemukan karya-karya Pramoedya Ananta Toer, NH Dini, dan Ahmad Tohari. Ada pula buku-buku populer seperti “Supernova”, “5 Cm”, hingga karya Raditya Dika. Meskipun saya ragu ada anak-anak yang berkunjung, perpustakaan ini juga menyediakan area ramah anak yang berisi buku-buku anak, layar monitor, bean bag, dan beberapa mainan edukatif. Ukurannya memang tidak besar, namun cukup nyaman.
Hanya ada segelintir orang saat kami masuk ke sana, mungkin karena sudah terlalu sore. Sisa waktu yang ada kami maksimalkan untuk berkeliling dan melihat-lihat koleksi buku. Jika tujuannya untuk bekerja atau membaca, tentu waktu yang tersisa sudah tidak mencukupi. Selain fasilitas buku bacaan dan referensi, tempat ini juga menyediakan coworking space yang terbilang nyaman. Lebih menarik lagi, bagi kaum “mageran” atau para pekerja yang memiliki keterbatasan waktu, Perpustakaan Digital iBI Library dapat diunduh melalui Play Store, memungkinkan akses ke koleksi digital.
Perpustakaan yang berada di area perkantoran umumnya memiliki tantangan utama pada jam operasionalnya. Jadwalnya kerap mengikuti jam kerja kantor induk. Hal yang sama berlaku di sini; Perpustakaan Bank Indonesia hanya buka Senin hingga Jumat, mulai pukul 07.10 hingga 17.00 WIB. Perpustakaan BI yang terletak di Jalan M.H. Thamrin ini bukanlah satu-satunya. Setiap kantor perwakilan wilayah Bank Indonesia di daerah juga memiliki perpustakaan sendiri, dengan total sekitar 43 perpustakaan. Kabar baik ini tentu menjadi angin segar bagi masyarakat di berbagai daerah, yang tak perlu lagi merasa iri dengan kami yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya.
Singkat kata, bagi saya, tempat ini sangat worth it bagi mereka yang mencari referensi buku, laporan, atau jurnal, khususnya di bidang moneter, makroprudensial, stabilitas sistem keuangan, sistem pembayaran, pengelolaan Rupiah, ekonomi digital, hukum, dan manajemen. Sangat cocok juga bagi mereka yang sedang mencari coworking space gratis di area M.H. Thamrin. Namun, jika tujuan Anda mencari gebetan pegawai BI, saya tidak menyarankan. Tapi kalau penasaran dan mau coba, silakan saja ke kantinnya, hahaha.
Ya, itu tadi cerita saya, pura-puranya “cosplay” menjadi pegawai BI dalam sehari.