
JAKARTA, HargaPer.com – Pasar komoditas energi global kembali menunjukkan pergerakan yang lesu, di mana harga berbagai jenis energi secara serentak mengalami pelemahan signifikan. Kondisi ini dipicu oleh adanya kelebihan pasokan yang terus membayangi pasar, menciptakan tekanan jual yang kuat bagi komoditas vital ini.
Menurut data terbaru dari Trading Economics yang tercatat pada Jumat (10/10) pukul 19.03 WIB, harga minyak mentah menunjukkan koreksi substansial. Minyak WTI terpantau melemah 1,52%, berada di level US$ 60,551 per barel, sementara harga minyak Brent juga merosot 1,51% ke posisi US$ 64,227 per barel. Tekanan jual ini tidak hanya menimpa sektor minyak, tetapi juga merambat ke komoditas energi lainnya.
Secara bersamaan, harga batubara tercatat melemah tipis 0,24% menjadi US$ 104,5 per ton. Kondisi serupa dialami gas alam yang mengalami penurunan paling tajam, anjlok 2,62% hingga mencapai US$ 3,1835 per MMBtu. Pelemahan harga yang terjadi secara merata ini mengindikasikan adanya kekhawatiran yang mendalam di kalangan pelaku pasar.
Menanggapi fenomena ini, Founder Traderindo.com, Wahyu Laksono, menjelaskan bahwa koreksi harga komoditas energi belakangan ini didorong oleh kekhawatiran serius terkait kelebihan pasokan. Ia merinci bahwa beberapa negara di luar aliansi OPEC+ telah meningkatkan kapasitas produksi minyak mereka, di saat yang sama OPEC sendiri masih memiliki cadangan kapasitas yang sangat signifikan. Situasi ini menciptakan ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan di pasar global.
Selain faktor pasokan, meredanya ketegangan geopolitik di Timur Tengah juga berperan besar dalam menekan harga. Wahyu Laksono secara spesifik menyoroti prospek gencatan senjata di Gaza sebagai pemicu utama meredanya sentimen premi risiko, yang sebelumnya sempat menopang harga. Stabilitas di kawasan strategis ini cenderung menurunkan permintaan atas minyak sebagai aset lindung nilai.
Beralih ke perspektif jangka panjang, Wahyu juga melihat tren global menuju energi terbarukan sebagai faktor krusial yang akan terus memengaruhi dinamika harga komoditas energi. Adopsi yang semakin masif terhadap energi surya, energi angin, serta pertumbuhan pesat kendaraan listrik secara bertahap mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, sehingga memberikan tekanan struktural pada pasar energi tradisional.
Tidak hanya itu, kebijakan moneter yang diterapkan oleh Amerika Serikat (AS) juga memiliki dampak tidak langsung namun signifikan. Wahyu menguraikan, penguatan nilai dolar AS dapat menekan harga komoditas yang mayoritas diperdagangkan dalam mata uang tersebut, termasuk minyak, batubara, dan gas alam. Ini karena komoditas menjadi lebih mahal bagi pembeli yang menggunakan mata uang lain, yang pada akhirnya dapat mengerem permintaan.
Mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, Wahyu Laksono memproyeksikan bahwa harga minyak mentah kemungkinan akan bergerak di kisaran US$ 55 hingga US$ 60 per barel hingga akhir tahun ini. Sementara itu, untuk harga batubara, ia memperkirakan akan berada dalam rentang US$ 95 sampai US$ 110 per ton. Adapun untuk gas alam, taksirannya menunjukkan potensi pergerakan antara US$ 2,70 hingga US$ 3,50 per MMBtu. Proyeksi ini menggarisbawahi tantangan yang mungkin akan dihadapi pasar energi dalam beberapa waktu ke depan.
Pasar Mobil Masih Lesu, Gaikindo Belum Revisi Target Penjualan 2025
Harga Tembaga Meroket, Industri Elektronik Siapkan Strategi Substitusi Bahan Baku