
HargaPer.com – Murah &Terbaik Nilai tukar rupiah masih terus tertekan, melanjutkan tren pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Pada penutupan perdagangan Rabu, 24 September 2025, kurs rupiah di pasar spot tercatat berada pada level Rp 16.685 per dolar AS, menunjukkan indikasi yang mengkhawatirkan bagi stabilitas mata uang domestik.
Kondisi pelemahan ini sejalan dengan peningkatan premi Credit Default Swap (CDS) Indonesia tenor 5 tahun. Per 24 September 2025, premi CDS melonjak menjadi 82,17 bps, naik signifikan dibandingkan posisi 18 September 2025 yang tercatat 70,17 bps. Kenaikan CDS ini menandakan persepsi risiko Indonesia di mata investor global turut meningkat.
Data dari Bank Indonesia (BI) untuk transaksi pasar keuangan domestik periode 15–18 September 2025 mengonfirmasi adanya arus keluar dana asing. Investor nonresiden tercatat melakukan jual neto di pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 5,49 triliun dan di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebesar Rp 2,79 triliun. Meskipun demikian, di pasar saham, asing masih membukukan beli neto tipis sebesar Rp 0,16 triliun.
Secara kumulatif sepanjang tahun 2025 hingga 18 September, pergerakan dana asing menunjukkan jual neto substansial di pasar saham sebesar Rp 59,73 triliun dan di SRBI sebesar Rp 119,62 triliun. Di sisi lain, mereka masih membukukan beli neto di pasar SBN sebesar Rp 41,82 triliun.
Menanggapi fenomena ini, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual, berpandangan bahwa investor asing telah memulai reposisi portofolio sejak pertengahan tahun ini. Pergeseran ini didorong oleh tren penurunan suku bunga di berbagai negara emerging market, yang juga memengaruhi imbal hasil obligasi dan instrumen keuangan lainnya. David mengamati, hanya Jepang dan Brasil yang justru mengalami tren kenaikan suku bunga.
“Jadi mereka lari ke beberapa negara yang trennya naik atau ekspektasi ke depannya naik. Contohnya tadi Jepang, mereka ekspektasi suku bunga di sana cenderung naik,” jelas David kepada Kontan pada Rabu (24/9/2025).
Tekanan Fiskal APBN Hingga Kebijakan Populis BI Jadi Biang Kerok Rupiah Anjlok
David menambahkan bahwa reposisi portofolio ini bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di berbagai negara emerging market lainnya. Investor asing juga terpantau mengalihkan dana mereka ke aset-aset lain yang dianggap lebih prospektif, seperti saham perusahaan teknologi atau komoditas logam mulia, termasuk emas, platinum, dan paladium.
“Kita kan juga sama trennya dengan emerging market lain kecenderungannya turun. Imbal hasil aset di Indonesia ya, terutama di fixed income. Tapi kalau saham mereka melihat masih lumayan menarik di beberapa sektor. Sehingga relatif stabil,” papar David, menyoroti sektor saham yang masih menjadi daya tarik.
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menyoroti siklus pelonggaran kebijakan moneter yang masih diusung Bank Indonesia (BI), diiringi intervensi konsisten di pasar keuangan. Menurutnya, kondisi ini memang mempersempit selisih suku bunga terhadap dolar, namun operasi pasar BI yang sigap berhasil meredam gejolak yang lebih besar.
“Tambahan lagi, rencana bank BUMN menaikkan bunga simpanan dolar menjadi 4% mulai awal November berpotensi meningkatkan preferensi menyimpan valas di dalam negeri, sehingga kebutuhan dolar taktis bisa naik dan menahan penguatan rupiah,” terang Josua, menggarisbawahi potensi dampak kebijakan tersebut terhadap stabilitas rupiah.
Dari sisi fiskal, Josua mencermati persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap defisit Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 sebesar 2,68% dari PDB, yang lebih tinggi dari rancangan awal. Meskipun kenaikan defisit ini belum otomatis dipandang negatif, Josua mengingatkan bahwa pasar tetap sangat sensitif terhadap arah kebijakan fiskal yang cenderung lebih longgar.
Awas! Rupiah Jisdor Melemah 6 Hari Beruntun Hingga Rabu (24/9)
Pentingnya menjaga jangkar fiskal pada batas defisit 3% dengan fleksibilitas yang terukur, menurut Josua, akan lebih kondusif bagi pertumbuhan ekonomi dan untuk menopang nilai tukar rupiah. Sebaliknya, skenario penghapusan batas defisit berpotensi meningkatkan premi risiko secara drastis, mendorong arus keluar modal, dan memberikan tekanan lebih lanjut pada rupiah.
Terkait dengan CDS, Josua menegaskan bahwa indikator ini berfungsi sebagai barometer utama risiko negara. Apabila premi CDS melebar, hal itu berarti biaya lindung nilai dan premi risiko meningkat, yang pada gilirannya dapat menurunkan minat investor asing terhadap SBN maupun obligasi korporasi di Indonesia.
“Dalam praktik harian, pergerakan rupiah lebih cepat merespons dinamika dolar global, yuan, imbal hasil US Treasury, dan berita kebijakan dibandingkan level CDS itu sendiri,” jelas Josua, menyoroti faktor-faktor dominan yang memengaruhi pergerakan rupiah.
Di sisi lain, Ekonom sekaligus analis pasar modal, Ferry Latuhihin, menyoroti kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang menunjukkan tanda-tanda pelemahan. Ia mengungkapkan bahwa penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada semester pertama 2025 turun hampir 20% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, shortfall fiskal telah mencapai sekitar Rp 30 triliun dan diperkirakan akan membengkak hingga Rp 112 triliun sampai akhir tahun. Pertumbuhan kredit perbankan juga melambat drastis dari dua digit menjadi hanya 7%.
“Rupiah melemah karena fundamental ekonomi kita reyot. Sehingga lebih banyak uang atau kapital yang keluar daripada yang masuk,” tegas Ferry, menggambarkan dampak dari kondisi fundamental yang kurang kokoh.
Menurut Ferry, kebijakan pemerintah yang cenderung ultra-populis turut menggerus ketahanan fiskal negara. Ia memperkirakan bahwa tahun depan, pemerintah harus menerbitkan surat utang baru senilai Rp 1.400 – Rp 1.500 triliun. Angka fantastis ini dibutuhkan untuk membayar cicilan utang lama beserta bunganya, sekaligus menutup defisit APBN.
“Ini bisa menyebabkan dana asing kabur karena kalau yield curve bergeser ke atas, harga obligasi akan turun. Dengan Debt Service Ratio (DSR) sebesar 23,9%, pemerintah sudah hampir tidak punya ruang untuk melakukan stimulus,” terang Ferry, menekankan terbatasnya ruang gerak pemerintah.
Ia juga menilai bahwa penurunan suku bunga acuan BI yang dilakukan belakangan ini ikut menekan nilai tukar rupiah dan mencerminkan bahwa kondisi ekonomi domestik memang sedang tidak baik-baik saja. Bahkan, pada Agustus lalu, pemerintah dikabarkan telah menarik utang baru sebesar Rp 463 triliun, sebuah langkah yang menambah beban fiskal.
Tonton: Rupiah dan IHSG Amblas Imbas Ojol Tewas Dilindas Rantis Brimob
Proyeksi Rupiah
Untuk proyeksi nilai tukar rupiah ke depan, David Sumual dari BCA memperkirakan rupiah akan bergerak stabil di kisaran Rp 16.500 – Rp 16.800 per dolar AS hingga akhir tahun 2025.
Sementara itu, Josua Pardede dari Bank Permata memproyeksikan kurs rupiah akan berada di level Rp 16.300 – Rp 16.400 per dolar AS pada akhir tahun. Proyeksi ini dengan asumsi indeks dolar bertahan di kisaran 96–99, penurunan suku bunga The Fed berlangsung bertahap, Bank Indonesia tetap konsisten menjaga stabilisasi pasar, dan kebijakan fiskal tetap pada batas defisit 3%. Namun, Josua juga mengingatkan adanya risiko penguatan dolar yang lebih lama, pelemahan yuan yang lebih dalam, serta sinyal pelonggaran fiskal yang agresif dapat memengaruhi proyeksi ini.
Adapun Ferry Latuhihin memberikan proyeksi yang lebih pesimis, di mana rupiah berpotensi mencapai level Rp 18.000 per dolar AS di akhir tahun.
“Seandainya mencapai Rp 18.000 per dolar AS, saya perkirakan bisa terjadi speculative attack oleh hedge funds yang akan memperlemah rupiah terus. Maka bisa terjadi currency crisis,” kata Ferry, memperingatkan potensi krisis mata uang jika rupiah melemah drastis.