
HargaPer.com – Murah &Terbaik – , Jakarta – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan PurpleCode Collective melancarkan kritik tajam terhadap kesepakatan perjanjian dagang resiprokal antara Indonesia dan Amerika Serikat. Sorotan utama tertuju pada salah satu klausul krusial yang mewajibkan Indonesia untuk membuka keran transfer data pribadi warga negaranya (WNI) ke AS. Kedua organisasi ini secara tegas menyatakan bahwa komitmen tersebut merupakan bentuk pengkhianatan negara terhadap hak privasi dan kedaulatan digital warganya.
Gema Gita Persada, Pengacara Publik LBH Pers, menegaskan bahwa langkah pemerintah yang menjamin kepastian pemindahan data pribadi ke Amerika Serikat menyimpan risiko yang sangat tinggi. Menurutnya, data pribadi sama sekali bukan aset atau komoditas yang dapat diperjualbelikan dalam perjanjian dagang, melainkan sebuah hak fundamental yang melekat pada setiap individu. “Alih-alih melindungi data pribadi sebagai bentuk jaminan hak atas privasi, pemerintah justru menjadikannya komoditas atau alat tukar dalam bisnis,” ungkap Gema dalam keterangan tertulisnya pada Kamis, 24 Juli 2025.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), data pribadi didefinisikan sebagai data perseorangan yang dapat teridentifikasi atau diidentifikasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui sistem elektronik atau nonelektronik. Gema menekankan, “Data pribadi tak seharusnya memiliki ‘nilai’ yang dapat dijadikan komoditas. Maka, kesepakatan mengenai pemrosesan data pribadi tidak dapat diatur tanpa persetujuan, apalagi sampai dijadikan alat tukar negosiasi perdagangan antar negara.”
Lebih jauh, LBH Pers juga mempertanyakan dasar hukum yang digunakan untuk mengakui Amerika Serikat sebagai negara dengan standar pelindungan data yang memadai. Hingga saat ini, belum ada Peraturan Pemerintah yang secara spesifik menetapkan standar penilaian tersebut, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 56 UU Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). “Langkah ini membuka celah lebar bagi pelanggaran kedaulatan data dan menempatkan masyarakat sipil dalam ketidakpastian hukum, mengingat absennya lembaga rujukan untuk mekanisme pengaduan jika terjadi kekeliruan dalam penilaian tersebut,” jelas Gema.
Kritik tersebut semakin mengemuka karena Gema juga menyoroti kelemahan signifikan dalam sistem perlindungan data di Amerika Serikat. Negara tersebut dinilai tidak memiliki regulasi federal yang komprehensif terkait privasi data dan justru dikenal sebagai salah satu negara dengan praktik pengawasan massal (mass surveillance) paling invasif secara global. Selain itu, AS juga merupakan rumah bagi perusahaan-perusahaan teknologi raksasa atau Big Tech yang kerap terlibat dalam praktik pelanggaran data pribadi, meliputi pelacakan pengguna tanpa persetujuan, penyimpanan data yang tidak transparan, hingga eksploitasi dan kebocoran data berskala besar.
Pilihan Editor: Bahaya Data di Luar Negeri