
GOWA, KOMPAS.com – Sidang kasus uang palsu yang melibatkan pejabat di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar kembali menghadirkan fakta mengejutkan di Pengadilan Negeri (PN) Sungguminasa, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Dalam persidangan yang berlangsung pada Rabu (2/7/2025) lalu, terkuak bahwa sindikat pemalsuan uang ini memiliki jaringan yang disebut-sebut merambah hingga ke internal Bank Indonesia (BI).
Fokus persidangan kali ini, yang dimulai pukul 11.00 WITA, tertuju pada Andi Ibrahim, Kepala Perpustakaan UIN Alauddin Makassar, yang duduk sebagai terdakwa dengan agenda pemeriksaan. Di hadapan majelis hakim, Andi Ibrahim membuka tabir mengenai perkenalannya dengan otak sindikat yang bermula dari pembicaraan seputar pemilihan gubernur Sulawesi Selatan.
Pembicaraan itu, secara tak terduga, bergeser ke rencana produksi uang palsu yang awalnya dilakukan di Jala Sunu, Makassar, sebelum akhirnya berpindah ke lokasi yang lebih “aman” yakni gedung perpustakaan Kampus 2 UIN Alauddin Makassar. Andi Ibrahim juga mengungkapkan bahwa sindikat tersebut telah memproduksi uang palsu dalam jumlah fantastis, mencapai Rp 1 miliar, yang dipesan oleh seseorang bernama Hendra.
Dalam pertemuan tersebut, Andi Ibrahim turut mempertemukan Hendra dengan Syahruna, terdakwa lain yang juga terlibat dalam jaringan ini. “Hendra mengeluarkan uang palsu lembaran Rp 50.000 saat dites menggunakan sinar ultra violet ternyata uang tersebut ketahuan bahwa itu palsu. Kemudian gantian Syahruna yang melakukan tes uang palsu Rp 100.000 miliknya dan hasil lolos, di mana tidak ketahuan bahwa itu palsu,” papar Andi Ibrahim di hadapan hakim, menjelaskan proses uji coba kualitas uang palsu yang mereka produksi. Hendra sendiri menunjukkan minat serius untuk membeli uang palsu senilai Rp 1 miliar tersebut dengan harga Rp 100 juta uang asli.
Pertanyaan krusial dari Hakim Dyan Martha Budhinugraeny mengenai peruntukan uang palsu tersebut dijawab Andi Ibrahim dengan sebuah klaim mengejutkan: uang itu disebut-sebut akan dibawa ke bank untuk ditukar. Ia berdalih, uang palsu tersebut adalah “uang rijek” – istilah untuk uang yang seharusnya dimusnahkan oleh BI dan kemudian diganti dengan uang asli yang baru. Seketika, Hakim Dyan Martha menyoroti kejanggalan klaim ini, mempertanyakan pemahaman Andi Ibrahim, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) bergelar doktor, tentang proses produksi dan pemusnahan uang yang secara eksklusif merupakan wewenang Bank Indonesia. Menanggapi itu, Andi Ibrahim bersikukuh, “Saya diberitahu bahwa Hendra memiliki link di internal BI yang bisa mengatur penukaran tersebut,” ungkapnya.
Persidangan kasus uang palsu ini sendiri merupakan bagian dari proses hukum maraton yang melibatkan total 15 terdakwa, masing-masing dengan agenda pemeriksaan yang berbeda. Selain Andi Ibrahim, nama-nama lain yang juga duduk di kursi pesakitan antara lain Ambo Ala, Jhon Bliater Panjaitan, Muhammad Syahruna, Sattariah, Sukmawati, Andi Haeruddin, Mubin Nasir, Kamarang Daeng Ngati, Irfandy, Sri Wahyudi, Muhammad Manggabarani, Satriadi, Ilham, dan Annar Salahuddin Sampetoding.
Sidang ini dipimpin oleh majelis hakim Dyan Martha Budhinugraeny, dengan Sihabudin dan Yeni sebagai hakim anggota, serta didukung oleh jaksa penuntut umum Basri Bacho dan Aria Perkasa Utama. Skandal uang palsu ini pertama kali mencuat pada Desember 2024, segera mengegerkan publik. Pasalnya, peredaran uang palsu ini tidak hanya terungkap diproduksi di lingkungan Kampus 2 UIN Alauddin Makassar, tetapi juga menggunakan mesin canggih yang mampu mencetak uang hingga nominal triliunan rupiah, membuatnya nyaris tak terdeteksi oleh mesin hitung uang maupun sinar X-ray.