Suku Bunga BI Turun: Saatnya Korporasi Terbitkan Obligasi?

HargaPer.com – Murah & Terbaik JAKARTA. Pemangkasan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang diproyeksikan akan terjadi pada semester II 2025 diyakini berpotensi menjadi katalis positif yang signifikan bagi penerbitan obligasi korporasi di Indonesia. Kebijakan moneter ini diperkirakan akan menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi perusahaan untuk mengoptimalkan struktur keuangannya.

Suku bunga yang lebih rendah membuka peluang krusial bagi korporasi untuk melakukan refinancing atas obligasi yang akan segera jatuh tempo, sehingga mampu mengurangi beban biaya utang secara substansial. Selain itu, kondisi ini juga memungkinkan perusahaan untuk memperoleh pendanaan modal kerja dengan biaya yang jauh lebih efisien, yang pada gilirannya dapat mendukung ekspansi bisnis dan operasional.

Namun demikian, di balik optimisme tersebut, analis Fixed Income Pefindo, Ahmad Nasrudin, memberikan peringatan bahwa sejumlah faktor eksternal dan internal tetap akan memengaruhi dinamika kinerja pasar obligasi korporasi. Faktor-faktor ini penting untuk dicermati oleh para pelaku pasar guna mengambil keputusan investasi yang tepat.

Salah satu faktor penentu utama adalah sentimen global, terutama kondisi geopolitik. Eskalasi ketegangan geopolitik secara tidak langsung dapat memengaruhi pergerakan yield obligasi pemerintah sebagai acuan (benchmark). “Jika eskalasi geopolitik kembali meningkat, hal ini akan mendorong kenaikan yield benchmark, yang pada akhirnya dapat menekan imbal hasil obligasi korporasi,” ujar Ahmad kepada Kontan, Selasa (8/7).

Lebih lanjut, Ahmad juga menyoroti potensi dampak dari pelemahan ekonomi domestik. Jika tren perlambatan ekonomi ini terus berlanjut hingga semester II-2025, hal tersebut dapat memberikan tekanan tambahan yang signifikan terhadap prospek pasar obligasi. Kondisi ekonomi yang kurang stabil cenderung membuat investor lebih berhati-hati dan mengurangi minat pada aset berisiko.

Risiko lain yang patut diperhitungkan datang dari pergeseran preferensi investor. Di tengah tren penurunan suku bunga, investor dinilai cenderung mengalihkan alokasi dananya ke instrumen yang lebih berisiko, seperti saham, dalam upaya mengejar imbal hasil yang lebih tinggi. Pergeseran ini bisa mengurangi permintaan terhadap obligasi dan memengaruhi harganya di pasar sekunder.

Selain itu, meskipun tensi telah mereda, perang dagang global masih menjadi isu yang memerlukan perhatian serius. Implikasinya terutama terkait kebijakan moneter dan ekonomi Amerika Serikat (AS), tekanan inflasi yang diakibatkan oleh kenaikan tarif impor, serta persoalan defisit fiskal dan pembiayaannya yang belum terselesaikan sepenuhnya dapat menciptakan ketidakpastian di pasar keuangan global.

Ahmad juga mengingatkan adanya risiko arus keluar dana asing, khususnya dari investor spekulatif yang sensitif terhadap perubahan sentimen pasar. Saat ini, menurutnya, banyak investor cenderung menempatkan dana pada obligasi tenor pendek guna menjaga likuiditas. Langkah strategis ini memungkinkan mereka untuk lebih fleksibel dalam merespons memburuknya sentimen pasar secara tiba-tiba dan cepat menyesuaikan portofolio.

Sementara itu, dari sisi fiskal, Ahmad menilai defisit anggaran pemerintah tetap menjadi perhatian utama yang tidak dapat diabaikan. Tanpa adanya upaya rasionalisasi dan efisiensi belanja negara yang konkret, peningkatan defisit dan jadwal jatuh tempo utang yang lebih besar berpotensi mendorong peningkatan pasokan surat utang negara ke pasar, yang pada akhirnya bisa memengaruhi keseimbangan penawaran dan permintaan di pasar obligasi secara keseluruhan.

You might also like