Rp 200 Triliun Kemenkeu: Mampukah Dongkrak Kredit Perbankan? Analisis & Dampak

Sebuah gebrakan signifikan diluncurkan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa demi meningkatkan likuiditas sektor perbankan di Indonesia. Menkeu Purbaya berencana memindahkan sebagian dana pemerintah yang kini tersimpan di Bank Indonesia (BI) dan akan menyalurkannya ke sejumlah bank komersial, utamanya bank-bank milik negara.

Menteri Purbaya mengungkapkan, dana jumbo sebesar Rp 200 triliun dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) pemerintah akan diguyurkan kepada enam bank besar. Bank-bank yang menjadi penerima manfaat meliputi Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Syariah Indonesia (BSI), dan Bank Syariah Nasional (BSN).

Kendati demikian, proporsi pembagian suntikan dana ini untuk masing-masing bank akan bervariasi. Purbaya belum dapat merinci nominal spesifik untuk setiap bank, namun ia berjanji akan mengumumkan mekanisme penyaluran dana tersebut paling lambat akhir pekan ini.

Menkeu Purbaya juga menegaskan bahwa dana yang disalurkan ini memiliki batasan penggunaan. Dana tersebut tidak boleh dialokasikan untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) atau Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Namun, ia berharap kebijakan ini akan memacu bank-bank penerima untuk lebih giat dalam menyalurkan kredit, dengan kebebasan penuh dalam menentukan peruntukan sesuai kebijakan internal masing-masing bank.

“Peruntukannya suka-suka banknya. Yang penting kan kita likuiditas masuk ke sistem,” jelas Purbaya di Gedung DPR RI pada Kamis (11/9/2025), mengindikasikan fleksibilitas bagi perbankan dalam mengelola dana segar ini.

Menyambut kebijakan ini, Sekretaris Perusahaan BSI, Wisnu Sunandar, menyatakan bahwa langkah tersebut sangat positif untuk memperkuat likuiditas perbankan di tengah kondisi pasar yang dinilai cukup ketat. Ia menambahkan, dana ini diharapkan dapat kembali ke masyarakat dalam bentuk fasilitas pembiayaan, yang pada gilirannya akan berdampak positif pada peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Lebih lanjut, Wisnu menyebutkan bahwa BSI memiliki peran vital dalam mendukung program pemerintah, seperti Koperasi Desa Merah Putih, penyaluran rumah bersubsidi, dan program Makan Bergizi Gratis. Ia juga menekankan bahwa kinerja BSI hingga saat ini tetap solid dan berkelanjutan, dengan pembiayaan mencapai Rp 295 triliun hingga Juli 2025, meningkat dari Rp 257,7 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Senada dengan BSI, Corporate Secretary Bank Mandiri, M. Ashidiq Iswara, berpendapat bahwa penempatan dana SAL pemerintah di sistem perbankan berpotensi kuat untuk memperkuat pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) sekaligus mendorong peningkatan penyaluran kredit. Berdasarkan analisis Tim Ekonom Bank Mandiri, kebijakan ini akan mendukung ketersediaan likuiditas yang lebih sehat dan meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter, sehingga perputaran uang di perekonomian dapat berjalan lebih optimal.

Ashidiq menambahkan, “Kebijakan ini juga sejalan dengan upaya Bank Mandiri untuk mendukung stabilitas sistem keuangan dan mengakselerasi fungsi intermediasi perbankan, khususnya ke sektor-sektor produktif sesuai program prioritas pemerintah.” Pernyataan ini menegaskan komitmen Bank Mandiri untuk mendukung agenda pembangunan nasional.

Di sisi lain, Corporate Secretary BTN, Ramon Armando, memilih untuk menunggu detail skema penempatan dana tersebut, termasuk tenor, pricing, dan persyaratan yang akan ditetapkan. Meskipun demikian, ia memiliki pandangan yang sama dengan bank lain bahwa kebijakan ini akan menjadi katalisator bagi perbankan, termasuk BTN, untuk memperluas pembiayaan dan menurunkan biaya dana. Hal ini diharapkan membuat kredit lebih terjangkau bagi masyarakat dan menciptakan multiplier effect yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Namun, di tengah optimisme perbankan, Ekonom Perbankan Binus University, Dody Arifianto, menyampaikan pandangan yang lebih kritis. Ia berargumen bahwa penambahan likuiditas ini belum menjadi solusi fundamental atas lambatnya pertumbuhan kredit di perbankan, yang tercatat hanya tumbuh 7% YoY per Juli 2025, level terendah sejak Maret 2022. Menurut Dody, akar masalah utama terletak pada minimnya permintaan kredit dari pelaku usaha untuk ekspansi.

“Ibaratnya ini dikasih modal banyak tapi kalau tidak ada yang beli produknya juga percuma,” ujar Dody, mengilustrasikan kondisi di mana pasokan dana berlimpah namun permintaan stagnan. Argumentasi Dody diperkuat dengan data OJK per Juni 2025 yang menunjukkan kredit menganggur di perbankan terus meningkat, mencapai Rp 2.304 triliun, naik dari Rp 2.152 triliun pada periode yang sama tahun lalu.

Lebih lanjut, Dody juga menyoroti aspek keamanan dana pemerintah. Ia berpandangan bahwa uang pemerintah sejatinya lebih terjamin jika ditempatkan di BI. Jika disimpan di perbankan komersial, ada risiko bahwa dana tersebut tidak sepenuhnya terjamin apabila bank mengalami kebangkrutan, mengingat kebijakan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hanya menjamin simpanan maksimal Rp 2 miliar per rekening dan per bank. Ia berharap akan ada pengecualian khusus untuk uang pemerintah dalam kebijakan penjaminan.

Sebaliknya, Pengamat Perbankan Amin Nurdin lebih optimistis. Ia meyakini bahwa dana tersebut akan disalurkan ke segmen-segmen yang memiliki tingkat risiko baik, mengindikasikan bahwa bank-bank akan sangat berhati-hati dalam menggunakan dana tersebut. “Kondisi NPL saat ini akan membuat bank lebih hati-hati,” tandas Amin, merujuk pada rasio kredit bermasalah yang akan mendorong perbankan untuk selektif dalam menyalurkan pembiayaan.

You might also like