
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen, Friderica Widyasari Dewi, mengumumkan keberhasilan menyelamatkan dana masyarakat sebesar Rp 376,8 miliar dari berbagai kasus penipuan (scam). Jumlah yang signifikan ini, menurut Friderica, mewakili sekitar dua persen dari total kerugian fantastis Rp 7 triliun yang dialami masyarakat akibat kejahatan siber tersebut, seperti yang ia sampaikan mengutip Antara pada Minggu, 19 Oktober 2025.
Data dari Indonesian Anti-Scam Center (IASC) sepanjang periode 22 November 2024 hingga 16 Oktober 2025 mengungkapkan skala masif kejahatan ini. Tercatat sebanyak 299.237 laporan penipuan dengan total kerugian yang menembus angka Rp 7 triliun. Sebagai respons, IASC telah memblokir 94.344 rekening dan menerima laporan atas 487.378 rekening terkait aktivitas ilegal, dengan total dana yang berhasil diblokir mencapai Rp 376,8 miliar. Angka ini sejalan dengan upaya OJK dalam melindungi aset konsumen.
Secara geografis, lima provinsi menunjukkan angka laporan penipuan tertinggi kepada IASC. Jawa Barat memimpin dengan 61.857 laporan, diikuti oleh DKI Jakarta (48.165), Jawa Timur (40.454), Jawa Tengah (32.492), dan Banten (20.619). Distribusi ini mengindikasikan bahwa modus kejahatan siber tidak hanya terpusat, melainkan menyebar luas di wilayah padat penduduk.
Selama periode November 2024 hingga Oktober 2025, berbagai modus penipuan telah merugikan masyarakat secara signifikan. Modus penipuan transaksi belanja online menyebabkan kerugian hingga Rp 988 miliar, sementara penipuan mengaku pihak lain (fake call) menembus angka Rp 1,31 triliun. Kerugian akibat penipuan investasi mencapai Rp 1,09 triliun, dan penipuan penawaran kerja sebesar Rp 656 miliar. Selain itu, penipuan mendapatkan hadiah merugikan Rp 189,91 miliar, dan penipuan melalui media sosial mencapai Rp 491,13 miliar. Jenis penipuan lain yang turut berkontribusi pada kerugian besar adalah phishing (upaya mendapatkan informasi pribadi secara ilegal) sebesar Rp 507,53 miliar dan social engineering (manipulasi psikologis untuk membocorkan informasi sensitif) dengan Rp 361,26 miliar. Tidak ketinggalan, pinjaman online fiktif mencatatkan kerugian Rp 40,61 miliar, serta penyebaran Android Package Kit (APK) via WhatsApp merugikan Rp 134 miliar. Ragam modus ini menunjukkan kompleksitas tantangan dalam melindungi konsumen.
Menanggapi situasi ini, Friderica, yang akrab disapa Kiki, menegaskan komitmen serius OJK. “Kita benar-benar menangani hal ini dengan tindakan yang sangat serius untuk kemudian berusaha meningkatkan performa dari anti-scam center ini. Untuk kemudian bisa kita melindungi konsumen,” ujarnya. OJK tidak hanya berfokus pada peningkatan pusat anti-scam, tetapi juga aktif melakukan penangkapan dan penegakan hukum terhadap pelaku penipuan. Kolaborasi lintas lembaga, termasuk dengan penegak hukum, diperkuat, diiringi penguatan sistem melalui integrasi antara sektor perbankan, marketplace, dan asosiasi telekomunikasi. Langkah ini krusial mengingat para scammer seringkali memanfaatkan rekening bank dan sambungan telepon untuk melancarkan aksinya.
Sebagai terobosan terbaru, Kiki mengungkapkan bahwa OJK sedang memfinalisasi Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang akan membawa kabar baik bagi para korban. “Mereka yang melakukan pelaporan di anti-scam center ini sudah dianggap seperti laporan pengaduan kepolisian,” jelas Kiki. Ini merupakan langkah signifikan, “berita baik, berita besar,” yang akan menyederhanakan proses pelaporan. Kiki menyampaikan apresiasi kepada Polri karena pengakuan ini berarti masyarakat tidak perlu lagi melapor dua kali, baik ke anti-scam center maupun ke kepolisian, sebab laporan di IASC otomatis akan dianggap sebagai laporan resmi yang diterima polisi.
Pilihan Editor: OJK Bakal Sanksi Pelaku Scam hingga Tak Bisa Daftar Kerja