“Rapikan dulu saham gorengan!” Sentilan tajam Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa kepada pucuk pimpinan bursa baru-baru ini bukan sekadar kritik, melainkan sebuah alarm yang menggema. Ini adalah pengakuan telanjang tentang praktik manipulasi pasar yang masih merajalela, mengikis kepercayaan investor dan terus menjadi luka menganga di pasar modal Indonesia.
Meskipun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) tak henti menyuarakan komitmen terhadap perlindungan investor dan terciptanya pasar yang adil (fair market), realitanya justru pahit. Para “bandar” masih leluasa beraksi, sementara investor ritel yang lugu terus menjadi tumbal. Ini memunculkan pertanyaan krusial: mengapa fenomena saham gorengan ini begitu sulit diberantas, dan apakah cita-cita pasar modal yang benar-benar bersih hanya sebuah ilusi belaka?
Mengapa “Bandar” Sulit Ditangkap?
Upaya memberantas saham gorengan bukanlah pekerjaan yang mudah. Ini bukan sekadar tantangan teknis, melainkan sebuah “perang” strategi yang sangat kompleks, seringkali bersembunyi di balik tabir transaksi yang tampak normal.
Salah satu kendala utama adalah pembuktian yang rumit. Manipulasi pasar merupakan kejahatan kerah putih yang semakin canggih. Para bandar modern tidak lagi bergerak sendirian; mereka memanfaatkan puluhan rekening efek palsu (nominee) dan menyebarkan order beli serta jual secara terkoordinasi. Teknik seperti layering atau wash sales digunakan untuk menciptakan ilusi permintaan yang tinggi, membuat harga bergerak naik atau turun sesuai keinginan mereka. Membuktikan adanya “niat jahat” (mens rea) dan persekongkolan di balik ribuan transaksi yang tersebar ini adalah rintangan hukum yang luar biasa besar.
Faktor kedua adalah struktur pasar yang mendukung. Indonesia memiliki ratusan emiten berkapitalisasi kecil (small-cap) atau yang sering disebut saham lapis tiga, dengan tingkat likuiditas yang sangat rendah. Saham-saham inilah yang menjadi “kanvas” favorit para bandar. Dengan modal yang relatif kecil, mereka dapat dengan mudah menggerakkan harga secara signifikan. Bagi mereka, “menggoreng” saham di segmen ini jauh lebih menguntungkan dan lebih mudah dikendalikan dibandingkan mencoba memanipulasi saham-saham blue chip yang memiliki fundamental kuat dan likuiditas tinggi.
Terakhir, munculnya medan perang baru di era digital semakin mempersulit pengawasan. Dulu, para bandar menyebarkan rumor melalui bisik-bisik. Kini, mereka memiliki “pasukan” digital di berbagai grup percakapan seperti Telegram dan WhatsApp, serta memanfaatkan influencer saham berbayar. Mereka dengan masif “mempom-pom” sebuah saham, menciptakan FOMO (Fear of Missing Out) atau ketakutan ketinggalan peluang di kalangan investor ritel. Ketika euforia mencapai puncaknya dan investor ritel berbondong-bondong masuk, sang bandar justru keluar dengan keuntungan besar. Jelas, OJK dan BEI menghadapi tantangan besar dan kerap kewalahan mengawasi ribuan “pasar gelap” informasi ini.
“Senjata” Regulator yang Masih Tumpul
Bukan berarti regulator berdiam diri. BEI sejatinya telah memiliki beberapa lapis pertahanan untuk menjaga integritas pasar. Kita mengenal adanya pengumuman Unusual Market Activity (UMA) sebagai “sentilan” atau peringatan dini. Jika perilaku saham masih liar, BEI akan mengeluarkan “gembok” suspensi untuk mendinginkan harga dan menenangkan situasi.
Sebagai langkah terbaru dan paling konkret, BEI meluncurkan Papan Pemantauan Khusus (PPK) dengan mekanisme Periodic Call Auction. Sistem lelang berkala ini dirancang untuk “membunuh” volatilitas ekstrem. Dengan meniadakan papan bid-offer real-time, bandar tidak lagi dapat memamerkan antrean palsu untuk memanipulasi persepsi. Harga saham kini ditentukan berdasarkan volume terbesar yang cocok pada jam-jam tertentu, secara teori efektif sebagai peredam kejut bagi para spekulan harian.
Namun, implementasi PPK ini pun tak luput dari kritik. Bagi sebagian investor, sistem ini justru terasa seperti “memenjarakan” saham, membuatnya semakin tidak likuid dan menyulitkan mereka untuk keluar dari posisi investasi mereka, bahkan untuk saham-saham yang tidak tergolong gorengan.
Langkah Konkret yang Sebenarnya Dibutuhkan
Jika ambisi kita adalah mewujudkan pasar modal yang benar-benar bersih dan berintegritas, “sentilan” dan “gembok” saja jelas tidak akan cukup. Ada tiga langkah konkret dan fundamental yang harus menjadi prioritas utama regulator:
Pertama, Penegakan Hukum (Enforcement) yang tegas. Hukuman untuk manipulasi pasar harus lebih dari sekadar denda administratif yang seringkali dianggap remeh atau bahkan sebagai “biaya operasional” oleh para bandar. OJK wajib lebih agresif dalam membawa kasus-kasus ini ke ranah pidana. Pencabutan izin usaha manajer investasi atau sekuritas yang terbukti memfasilitasi “penggorengan” saham, ditambah dengan denda miliaran rupiah yang benar-benar ditagih, akan memberikan efek jera yang nyata dan kuat.
Kedua, Memperketat Pintu Masuk (IPO) bursa. Pencegahan selalu lebih baik daripada pengobatan. BEI harus lebih selektif dan ketat dalam menyaring perusahaan yang akan melantai di bursa. Jangan hanya mengejar target kuantitas emiten baru, melainkan harus mengutamakan kualitas. Perusahaan dengan fundamental yang “abu-abu” atau model bisnis yang tidak jelas seharusnya tidak diberi panggung untuk kemudian menjadi mainan empuk bagi para bandar.
Ketiga, Pengawasan di Era Digital yang adaptif dan proaktif. OJK dan BEI tidak bisa lagi bersikap gagap teknologi. Harus ada unit cyber patrol yang serius memantau dan menindak influencer saham “pom-pom” yang memberikan rekomendasi menyesatkan tanpa analisis jelas, apalagi jika terbukti terafiliasi dengan jaringan bandar. Ini adalah medan perang baru yang harus dimenangkan untuk melindungi investor ritel.
Misi yang (Seharusnya) Tidak Mustahil
Jadi, mungkinkah pasar modal Indonesia benar-benar bersih? Mencapai kebersihan 100% mungkin sebuah utopia, karena di pasar mana pun, celah selalu ada. Namun, menciptakan pasar yang jauh lebih bersih, lebih adil, dan jauh lebih aman adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar lagi.
Ini bukanlah misi yang mustahil. Ini adalah soal kemauan politik (political will) yang kuat. Sentilan keras dari Menteri Keuangan harus dijadikan momentum bagi OJK dan BEI untuk akhirnya membuktikan bahwa taring pengawasan mereka benar-benar tajam, bukan sekadar “macan kertas” yang hanya mengaum tanpa gigitan.
Bagi kita, para investor ritel, perlindungan terbaik tetaplah diri kita sendiri. Sampai regulator benar-benar menunjukkan tajinya, jangan pernah tergiur membeli saham gorengan hanya karena “katanya” di grup sebelah sedang “dihangatkan” atau dipom-pom. Investasi cerdas dimulai dari riset mandiri dan kehati-hatian.