Lima alasan buruh Jatim tolak putusan UMK 2026

PEMERINTAH Provinsi Jawa Timur resmi menetapkan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) di 38 daerah pada Rabu, 24 Desember 2025 malam. Buruh menolak putusan tersebut.

Wakil Sekretaris Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jatim Nuruddin Hidayat menegaskan bahwa buruh menolak putusan itu karena lima alasan. Pertama, putusan UMK 2026 se-Jatim dinilai mengabaikan rekomendasi Bupati/Wali Kota.

Kedua, KSPI menilai daftar UMK tersebut tidak memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) sebagaimana amanah Putusan MK No.168. Ketiga, putusan itu dianggap tidak menjawab problematika disparitas upah di Jawa Timur.

Keempat, selisih UMK tertinggi dan terendah semakin tinggi. “Tahun 2025 selisihnya 2.697.426. Tahun ini selisihnya menjadi Rp. 2.804.834,” ucap Nuruddin kepada Tempo, Kamis 25 Desember 2025.

Nuruddin melanjutkan, alasan kelima buruh menolak putusan itu karena kenaikan UMK Surabaya di bawah ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 49 Tahun 2025. “Sehingga putusan itu kami nilai cacat hukum,” jelasnya.

Oleh karena itu, buruh se-Jatim tengah berkonsolidasi untuk menolak putusan itu. “Kami sedang melakukan konsolidasi apakah melakukan aksi demonstrasi atau mengajukan gugatan hukum di PTUN seperti tahun 2025 lalu,” tandasnya.

Sebelumnya, UMK se-Jatim ditetapkan melalui Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 100.3.3.1/937/013/2025 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Timur Tahun 2026. Dokumen tersebut telah ditandatangani oleh Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa.

Dalam dokumen tersebut terlihat bahwa Kota Surabaya menjadi daerah dengan UMK tertinggi sebesar Rp 5.288.796. Disusul dengan empat daerah ring-1 penyangga ekonomi Jawa Timur, yakni Gresik, Sidoarjo, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Mojokerto. Sementara Kabupaten Situbondo menjadi daerah dengan UMK terendah adalah Rp Rp 2.483.962.

Pilihan Editor: Mengapa Jumlah SPKLU Tak Sebanding Populasi Mobil Listrik

You might also like