
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkirakan masih berpeluang menguat hingga akhir perdagangan tahun 2025, didorong sentimen window dressing, faktor global yang kondusif, serta maraknya aksi korporasi emiten.
Window dressing umumnya merujuk strategi pelaku pasar dan manajer investasi untuk mempercantik kinerja portofolio menjelang akhir tahun, yang kerap memicu kenaikan harga saham dalam jangka pendek.
Global Market Economist Maybank, Myrdal Gunarto, menilai penguatan IHSG di penghujung tahun ini sejalan dengan praktik window dressing yang lazim terjadi, ditopang sentimen eksternal.
“Ya, kalau kita lihat IHSG kelihatannya ada window dressing ya akhir tahun ini. Dan kebetulan juga didukung oleh faktor global, ya,” ujar Myrdal kepada kumparan, Senin (29/12).
Dia menyebut kenaikan harga emas menjadi salah satu sentimen global yang menopang pasar, diikuti berbagai aksi korporasi yang memberi sentimen positif.
“Seperti ada kenaikan harga emas. Lalu juga ada faktor beberapa korporasi melakukan corporate action, ya. Ini juga ada yang pengaruh positif, ya,” katanya.
Menurut Myrdal, aksi korporasi tersebut meliputi rencana akuisisi, kerja sama strategis, hingga right issue dan penerbitan obligasi, terutama di sektor berbasis komoditas dan energi.
“Seperti ada yang mau akuisisi, termasuk juga ada kerjasama strategis. Dan juga ada yang melakukan right issue, juga obligasi, ya,” ujarnya.
Saham-saham energi dan sumber daya alam menunjukkan pergerakan yang solid dalam beberapa hari terakhir.
“Benar-benar obligasi seperti saham-saham bumi ataupun energi, ya. Yang ternyata kita lihat pergerakannya juga cukup positif, ya, dalam beberapa hari terakhir,” kata Myrdal.
Dengan dukungan sentimen itu, Myrdal memproyeksikan IHSG berpotensi mendekati level 8.725 hingga akhir tahun.
“Ya, kita lihat sih untuk IHSG, posisi akhir tahun ini bisa mendekati level 8.725, ya. Sekitar segitu. 8.725, memang ini kelihatannya masih on track, ya, hingga saat ini,” ujarnya.
Dari sisi sektoral, ia menilai sektor pertambangan emas, energi, transportasi, hingga teknologi masih menarik dicermati.
“Ada saham-saham dari sektor emas, ya. Ini mining emas, ya, yang kalau kita lihat ini menarik, ya. Lalu juga sektor energi, ini kelihatan masih naik, ya,” jelas Myrdal.
“Termasuk juga kita lihat saham-saham terkait dengan IT juga, termasuk internet, ya, ini naik, ya. Beberapa emitennya kita lihat kenaikannya cukup kuat, ya. Dan ini diharapkan sih terus berlanjut sampai akhir tahun,” sambung Myrdal.
Terkait maraknya aksi right issue, Myrdal menilai langkah tersebut dapat menjadi strategi yang tepat, terutama bagi emiten dengan porsi saham beredar di publik yang masih terbatas.
“Lalu kalau untuk right issue, sebenarnya ini bagus, ya, rencana strategis emiten. Apalagi kalau misalkan floating market mereka itu yang beredar, jadi misalkan saham-saham mereka yang beredar di market itu masih sedikit, ini saya rasa keputusan yang strategis, ya,” ujarnya.
Right issue memberi ruang bagi emiten untuk menambah kas tanpa beban bunga. “Mereka bisa menambah cash tanpa harus mereka terkena beban bunga, ya. Paling ada biaya administrasi saja sih ke underwriter. Cuman ya ini langkahnya menurut saya sih sangat strategis, ya,” kata Myrdal.
Sementara itu, Senior Market Analyst Mirae Sekuritas, Nafan Aji Gusta, menilai likuiditas pasar cenderung menipis menjelang dua hari terakhir perdagangan bursa tahun ini, meski potensi window dressing tetap menjadi perhatian investor.

“Tinggal 2 hari lagi menuju akhir perdagangan bursa di Tanah Air pada tahun 2025. Biasanya, likuiditas cenderung tipis pada 2 hari tersebut. Tetap saja, pelaku pasar mencermati potensi window dressing dan penyesuaian portfolio akhir tahun,” ujar Nafan.
Nafan juga mengingatkan potensi peningkatan volatilitas, khususnya pada saham berkapitalisasi kecil dan menengah.
Dari sisi global, Nafan menilai sentimen akhir tahun relatif terjaga seiring ekspektasi stabilitas ekonomi dan prospek laba perusahaan.
“Sementara dari eksternal, investor global berekspektasi bahwa sentimen akhir tahun tentunya diperkuat data ekonomi yang tetap stabil, dan ekspektasi laba perusahaan yang kuat, serta optimisme terhadap prospek pertumbuhan di 2026,” ujarnya.
Namun demikian, Nafan juga mengimbau investor tetap mewaspadai risiko global yang dapat memicu gejolak pasar.
Dari domestik, perhatian pasar turut tertuju pada rencana penegakan hukum pemerintah terhadap perusahaan sawit dan pertambangan ilegal.
“Kembali ke domestik, pemerintah menyiapkan rencana penegakan hukum untuk mengenakan denda sekitar USD 8,5 miliar pada 2026 terhadap perusahaan sawit dan pertambangan yang beroperasi ilegal di kawasan hutan,” kata Nafan.
Menurut dia, hal ini bertujuan memperbaiki tata kelola sumber daya alam dan berpeluang mempengaruhi persepsi investor terhadap keberlanjutan di pasar modal.
****
Disclaimer: Keputusan investasi sepenuhnya didasarkan pada pertimbangan dan keputusan pembaca. Berita ini bukan merupakan ajakan untuk membeli, menahan, atau menjual suatu produk investasi tertentu.