Google AI Terobosan: Baca & Pahami Tulisan Kuno!

Terobosan signifikan dalam dunia sejarah dan arkeologi baru saja diperkenalkan oleh Google DeepMind, divisi kecerdasan buatan (AI) Google. Mereka meluncurkan Aeneas, sebuah model AI canggih yang dirancang khusus untuk membaca, memahami, dan memberikan konteks pada tulisan-tulisan kuno, terutama prasasti berbahasa Latin dari era Romawi. Teknologi inovatif ini diklaim mampu mempercepat dan menyederhanakan tugas para sejarawan dalam meneliti teks-teks berusia ribuan tahun yang kerap ditemukan dalam kondisi rusak atau tidak lengkap.

Pengembangan Aeneas merupakan hasil kolaborasi lintas institusi yang melibatkan tim peneliti gabungan dari Google DeepMind dan University of Nottingham, didukung oleh para ahli dari Universitas Oxford, Warwick, serta Athens University of Economics and Business. Hasil riset fundamental ini bahkan telah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah terkemuka, Nature.

Nama ‘Aeneas‘ sendiri bukan tanpa makna. Pemberian nama ini terinspirasi dari tokoh pahlawan legendaris dalam mitologi Romawi, Aeneas, yang cara bacanya adalah uh·nee·uhs atau eni-yas. Dalam kisahnya, Aeneas adalah seorang pejuang Troya, putra dewi cinta Aphrodite (Venus) dan Anchises, yang kisahnya diabadikan dalam puisi epik ‘Aeneid’ karya Virgil pada abad ke-1 SM. Puisi tersebut mengisahkan perjalanan sang pahlawan ke Italia, di mana ia kemudian menjadi leluhur bangsa Romawi. Pemilihan nama ini secara simbolis mencerminkan misi AI tersebut: ‘menjembatani masa lalu’, sama seperti Aeneas dalam mitologi yang menjadi penghubung antara peradaban Troya dan cikal bakal kota Roma.

Dalam dunia arkeologi dan sejarah, salah satu kendala terbesar yang kerap dihadapi adalah menafsirkan prasasti kuno yang ditemukan dalam kondisi tidak utuh, bahkan rusak parah. Banyak teks kuno yang telah aus, terhapus oleh faktor waktu, atau hanya tersisa sebagian kecil. Untuk mengatasinya, para peneliti biasanya mengandalkan pencarian ‘paralel’ – teks lain yang memiliki kemiripan dalam kata, struktur kalimat, atau asal geografis – sebagai kunci untuk menafsirkan bagian yang hilang. Namun, proses manual ini dikenal sangat kompleks dan memakan waktu. Di sinilah Aeneas hadir sebagai solusi revolusioner untuk secara drastis mempercepat proses tersebut.

Dengan kemampuan AI-nya, Aeneas mampu memindai ribuan prasasti Latin dan secara instan mengidentifikasi keterkaitan antar teks. Cara kerjanya adalah dengan mengubah setiap teks menjadi ‘sidik jari sejarah’ yang unik. Sidik jari ini kemudian dicocokkan dengan ribuan teks lain yang tersimpan dalam basis datanya. Mekanisme ini memungkinkan model untuk secara cerdas mengenali pola, frasa umum, nama tokoh, atau bahkan struktur kalimat yang serupa, lalu memanfaatkannya untuk secara akurat memprediksi atau melengkapi bagian teks kuno yang hilang.

Demi menyempurnakan kemampuan Aeneas, tim peneliti dari Google DeepMind dan University of Nottingham telah menyusun sebuah dataset masif yang dinamai Latin Epigraphic Dataset (LED). Dataset ini mencakup lebih dari 176.000 inskripsi berbahasa Latin yang berhasil dikumpulkan dari berbagai wilayah bekas Kekaisaran Romawi. Data-data ini kemudian melalui proses pembersihan dan restrukturisasi agar dapat diolah secara optimal oleh sistem AI. Berbekal dataset tersebut, Aeneas dilatih secara ekstensif untuk mengenali berbagai pola sejarah, mulai dari frasa, nama individu, gaya bahasa, hingga lokasi geografis asal prasasti. Berkat pelatihan intensif ini, Aeneas kini mampu membaca dan membandingkan prasasti yang rusak dengan mencari kesamaan relevan, serta menyajikan saran interpretasi yang berharga kepada para sejarawan, berdasarkan kemiripan kata atau konteks.

Kemampuan terdepan Aeneas adalah kemampuannya memproses input multi-modal, yaitu kombinasi data teks dan gambar. Fitur ini menjadikannya model AI pertama yang sanggup memperkirakan asal geografis suatu teks kuno dengan menggabungkan informasi dari tulisan dan bentuk visual ukiran pada prasasti. Lebih jauh lagi, salah satu keunggulan luar biasa Aeneas adalah kemampuannya untuk mengisi bagian teks yang hilang bahkan tanpa mengetahui panjang slot kosong tersebut. Ini ibarat mengisi teka-teki silang tanpa petunjuk jumlah kotak, sebuah tantangan maha besar yang telah lama menghantui para ahli epigrafi—ilmu yang berfokus pada studi dan interpretasi tulisan kuno pada prasasti, batu nisan, atau artefak bersejarah lainnya.

Meskipun saat ini fokus utama model AI Aeneas adalah prasasti berbahasa Latin, teknologi ini didesain dengan arsitektur yang fleksibel sehingga dapat diadaptasi untuk menafsirkan bahasa dan media kuno lainnya. Potensinya meluas ke teks Yunani, papirus Mesir, hingga tulisan pada koin. Bahkan, Aeneas telah mulai diintegrasikan dengan model AI DeepMind lainnya, Ithaca, yang memang khusus dirancang untuk menganalisis teks Yunani kuno.

Kendati kecanggihannya tak diragukan, Google DeepMind secara tegas menyatakan bahwa Aeneas tidak dirancang untuk menggantikan peran sejarawan. Sebaliknya, Aeneas diposisikan sebagai ‘rekan kolaboratif’ yang bertujuan untuk secara signifikan mempercepat proses penelitian. Model AI ini bertugas memberikan saran dan interpretasi awal yang kemudian dapat ditelaah lebih lanjut oleh para ahli, memastikan bahwa keputusan dan interpretasi akhir tetap berada pada kebijaksanaan manusia.

Profesor Dame Mary Beard, seorang sejarawan klasik ternama dari University of Cambridge, menyambut kehadiran Aeneas sebagai ‘terobosan besar’ dalam ranah studi epigrafi. Seperti dikutip dari laman resmi Universitas Nottingham, Profesor Beard menyampaikan, “Sebelumnya, bidang ini sangat bergantung pada ingatan dan intuisi individual. Aeneas membuka kemungkinan baru yang luar biasa dan telah teruji oleh para ahli terbaik di bidang ini.”

Dengan kapabilitas uniknya dalam menghubungkan potongan-potongan sejarah layaknya menyusun puzzle, Aeneas memberikan harapan baru yang signifikan untuk menggali lebih dalam warisan peradaban kuno, bahkan berpotensi menyingkap lembaran sejarah yang selama ini belum pernah terjamah. Sebagai komitmen terhadap kemajuan ilmu pengetahuan, model Aeneas kini tersedia secara open-source dan dapat diakses oleh publik melalui situs DeepMind dalam proyek bertajuk ‘Predicting the Past’. Google juga telah membagikan kode sumber dan dataset-nya, memungkinkan komunitas akademik untuk terus mengembangkan dan memanfaatkan teknologi revolusioner ini secara lebih luas, sebagaimana dilaporkan dari Engadget pada Jumat (25/7/2025).

You might also like