
Pernahkah Anda merasakan sepi yang menusuk, bahkan saat dikelilingi ribuan orang? Sensasi aneh ini seringkali melanda di lokasi-lokasi yang sebenarnya ramai seperti bandara, stasiun, jalan tol, area peristirahatan, hotel, atau pusat perbelanjaan. Meskipun dipadati keramaian, tempat-tempat ini jarang meninggalkan jejak memori personal yang mendalam. Kehadiran kita di sana, tak lain dan tak bukan, hanyalah untuk tujuan transaksi atau transit semata.
Fenomena unik ini ternyata memiliki nama: non-place atau ‘non-tempat’. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh antropolog Prancis, Marc Augé, dalam bukunya yang terbit tahun 1992, Non-Places: Introduction to an Anthropology of Supermodernity. Menurut Augé, non-place adalah ruang yang muncul seiring dengan era supermodernitas, sebuah kondisi yang ditandai oleh melimpahnya tiga aspek kehidupan manusia: waktu, ruang, dan individualitas. Kelimpahan ini dipicu oleh pesatnya perkembangan teknologi dan seringkali diidentifikasi sebagai salah satu ciri khas tahapan akhir kapitalisme. Non-place, berbeda dengan ‘tempat’ tradisional yang kaya akan identitas, sejarah, dan hubungan sosial, justru menekankan anonimitas dan fungsi murni.
Mungkin konsep non-place ini masih terasa abstrak? Jangan khawatir. Untuk membantu Anda memahami lebih dalam, kami telah merangkum lima rekomendasi film berlatar non-place yang bisa menjadi jembatan menuju pemahaman yang lebih konkret. Siapa tahu, Anda pun akan merasakan relevansi yang mengejutkan!
1. The Terminal (2003)
Untuk memahami esensi non-place, film The Terminal adalah titik awal yang ideal. Film ini mengisahkan Viktor Navorski (diperankan oleh Tom Hanks), seorang turis asal Eropa Timur yang mendapati dirinya terperangkap tanpa status di Bandara Internasional John F. Kennedy, New York. Situasi ini muncul setelah negaranya tiba-tiba dicoret dari daftar negara yang diakui imigrasi Amerika akibat sebuah konflik politik.
Terpaksa menjadikan bandara sebagai “rumah” sementara selama berhari-hari, Viktor memang berhasil membangun beberapa interaksi dan koneksi dengan individu di sana. Namun, terlepas dari itu, keberadaannya tetap diselimuti kehampaan dan ketidakpastian yang menjadi ciri khas non-place: sebuah ruang fungsional yang minim identitas pribadi dan sejarah.
2. Mystery Train (1989)
Beranjak dari bandara, hotel atau penginapan juga termasuk dalam kategori non-place menurut pandangan Augé. Ruang ini didesain untuk menawarkan anonimitas total, di mana keberadaan individu murni untuk tujuan transit dan fungsional, tanpa ikatan personal yang mendalam.
Film Mystery Train dengan cerdik mengilustrasikan konsep ini melalui tiga alur cerita terpisah, yang semuanya berpusat di sebuah hotel di jantung Kota Memphis, Amerika Serikat. Meski memiliki permasalahan pribadi yang berbeda, setiap karakter dalam narasi ini bergulat dengan perasaan kesepian dan kehilangan arah, menyoroti bagaimana bahkan di tempat yang menyediakan fasilitas, koneksi manusia yang otentik seringkali absen.
3. Locke (2013)
Jalan tol, yang kita lalui semata-mata sebagai jalur transit, juga merupakan contoh sempurna dari non-place. Ruang ini dirancang untuk pergerakan cepat dan efisien, tanpa menghadirkan kesempatan bagi interaksi sosial yang bermakna atau pembentukan identitas tempat.
Dalam film Locke, kita diajak mengikuti perjalanan emosional yang intens dari karakter yang diperankan oleh Tom Hardy, sepanjang jalan tol. Meskipun durasinya hanya beberapa jam, pengalaman menontonnya terasa seperti menaiki roller coaster yang menegangkan. Jalan tol dalam film ini secara gamblang menggambarkan esensi non-place: sebuah ruang yang terasa tidak signifikan, hanya dilewati, dan di mana koneksi manusia nyaris tidak terbentuk.
4. Limbo (2020)
Film Limbo menyajikan perspektif unik tentang non-place melalui kisah beberapa pencari suaka yang terdampar di sebuah pulau terpencil di Skotlandia, menanti keputusan atas permohonan mereka. Tanpa izin untuk bekerja dan terperangkap dalam limbo administratif, mereka berada dalam kondisi ketidakpastian yang menggerogoti, bahkan berujung pada konsekuensi fatal.
Dengan genre komedi gelap, latar film Limbo secara sempurna merepresentasikan non-place, khususnya dalam kaitannya dengan hubungan kontraktual yang impersonal antara penghuni dan otoritas tempat tersebut. Para pencari suaka tidak memiliki ikatan personal dengan tempat itu; keberadaan mereka sepenuhnya diatur oleh kontrak dan prosedur, mencerminkan kurangnya kebebasan dan identitas personal di ruang tersebut.
5. Cloud (2024)
Tidak hanya tempat-tempat transit, lokasi yang murni berfungsi sebagai pusat transaksi seperti mal atau pusat perbelanjaan juga dapat digolongkan sebagai non-place. Di sini, interaksi sosial yang bermakna jarang terjadi; satu-satunya tujuan keberadaan Anda adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi.
Di era digital, konsep non-place ini meluas hingga ke marketplace daring, sebuah evolusi dari pusat perbelanjaan fisik. Peran marketplace ini digambarkan secara gamblang dalam film Cloud karya Kiyoshi Kurosawa. Film ini mengikuti kisah seorang pria yang meraih kesuksesan besar melalui bisnis jual beli barang bekas secara daring. Namun, keberhasilan finansialnya justru tidak diikuti oleh koneksi personal yang tulus dengan konsumen maupun rekan bisnisnya. Suatu hari, ia bahkan menghadapi teror dari pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh sistem bisnis daringnya, menyoroti kehampaan koneksi manusia di dalam non-place digital ini.
Meskipun terkesan rumit dan teoretis, konsep antropologi tentang non-place ini ternyata menjadi jauh lebih mudah dicerna dan relevan ketika diaplikasikan ke dalam medium seni, khususnya film. Ini membuktikan betapa kuatnya narasi visual dalam membantu kita memahami seluk-beluk eksistensi manusia di tengah kompleksitas dunia modern. Sebuah alasan kuat untuk terus mengapresiasi dan menyelami kekayaan dunia perfilman, bukan?