Reksadana vs Saham: Investasi yang Tepat untuk Siapa?

Kisah ini bermula di sebuah warung kopi, tempat saya dan seorang sahabat lama, yang telah lebih dulu terjun ke dunia investasi reksadana, menghabiskan waktu bersama. Suasana santai itu mengantar kami pada percakapan menarik tentang bagaimana mengelola keuangan.

Sahabat saya memulai, “Bang, mau coba reksadana?” Saya yang masih awam sontak bertanya, “Apa itu?” Ia menjelaskan bahwa reksadana adalah bentuk investasi yang bisa dimulai dengan nominal kecil, cukup melalui aplikasi investasi di ponsel. Keraguan saya muncul, “Aman tidak?” Dengan meyakinkan, ia menjawab, “Tentu saja aman. Ada banyak aplikasi yang sudah terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).”

Saya sempat mengira investasi semacam ini pasti mahal, namun sahabat saya meluruskan, “Justru sebaliknya, reksadana bisa dimulai dari nominal paling rendah.” Ia kemudian memberi gambaran, “Bayangkan, dengan Rp10.000 saja Anda sudah bisa mulai berinvestasi. Daripada menghabiskan uang untuk dua cangkir kopi atau dua bungkus rokok sehari, sebagian bisa dialokasikan ke tabungan reksadana.” Gagasan ini mulai terdengar menarik di telinga saya.

“Bukan soal bisa cepat kaya atau tidak, Bang. Ini adalah investasi jangka panjang yang berprinsip ‘sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit’,” ia melanjutkan. Ia membuat perbandingan yang membuka mata: “Jika dua cangkir kopi sehari menghabiskan Rp20.000, bayangkan bila hanya sekali saja Anda mengalihkan pengeluaran itu dalam sebulan, Anda sudah punya Rp300.000 di tabungan reksadana.” Saya lantas teringat tentang biaya administrasi, namun ia kembali mengejutkan saya. “Itulah menariknya reksadana, dengan dana kecil, biaya administrasi (ADM) bisa nol besar!” Ia bahkan menambahkan bahwa beberapa aplikasi reksadana kerap memberikan bonus seperti ponsel atau uang tunai, tergantung promosi yang sedang berlangsung, sembari menjamin keamanan investasi jangka panjang ini.

Saya masih terpaku pada pemikiran “tidak bisa kaya” karena merasa hanya menabung. “Jangan hanya berpikir kaya instan, Bang. Yang terpenting adalah berani memulai investasi,” tegas sahabat saya. Ia menyadari persepsi keliru banyak orang yang selalu melihat ke atas tanpa melirik potensi di bawah. “Reksadana justru membantu kita berinvestasi tanpa risiko tinggi. Menabung sedikit, lama-lama pasti besar juga. Bahkan, tidak ada kerugian signifikan jika terjadi fluktuasi pasar,” jelasnya. Kami pun sama-sama menyeruput kopi manis, meresapi penjelasan tersebut.

Percakapan kami bergeser pada perbedaan mendasar antara reksadana dan saham. “Saham itu berbeda jauh, Bang,” katanya. Saya langsung antusias, “Apa bedanya? Dari dulu saya penasaran bagaimana caranya ‘main saham’ biar cepat kaya!” Sahabat saya menjelaskan bahwa poin utama investasi saham adalah risiko untung-rugi yang sangat tinggi. Dahi saya mengerut.

Ia memberi contoh, “Misalnya ada perusahaan yang menawarkan saham seharga Rp500 per lembar. Tentu kita akan tergiur membeli dalam jumlah banyak karena terlihat murah.” Ia melanjutkan, “Masalahnya, ada dua kemungkinan mengapa harga saham bisa semurah itu. Pertama, memang sedang ‘diskon’ sebelum harganya naik, yang berarti potensi keuntungan. Namun, kemungkinan kedua adalah karena perusahaan tersebut sedang di ambang ‘bangkrut’. Harganya bisa turun drastis dalam hitungan menit, dari Rp500 menjadi Rp100, bahkan bisa jadi Rp0 per lembar jika sahamnya tidak diminati lagi.” Jika itu terjadi, maka kita tidak akan mendapatkan apa-apa. Perusahaan menjual murah untuk menutupi kerugian, dan kita pun tidak bisa menjual kembali saham yang sudah dibeli, bahkan bisa lenyap dari bursa saham karena kebangkrutan.

Mendengar itu, saya pun bergumam, “Gagal dong jadi kaya!” Sahabat saya menyahut, “Makanya, kalau mau bermain saham, harus punya ilmu dan trik khusus. Para investor saham profesional sangat sadar akan risikonya. Mereka tidak menggunakan tabungan utama keluarga, melainkan dana cadangan agar keuangan rumah tangga tetap aman.” Ia menekankan bahwa risiko saham sangat besar, harganya bisa naik turun drastis dalam sehari. Teringat, saya pun bercerita, “Oh, pantas saja. Kemarin ada teman yang sampai depresi karena kehilangan Rp30 juta dari saham.”

“Itu terjadi karena ia asal beli dan tidak bertanya, atau bahkan tertipu agen saham,” jelas sahabat saya. Ia mengungkap adanya praktik agen yang mencari pembeli untuk saham-saham perusahaan hampir bangkrut, seringkali melalui grup-grup. “Orang awam mudah tergiur, tapi investor profesional pasti menolak. Teman Anda itu mungkin belum sepenuhnya profesional sehingga mudah tergoda dan kehilangan uang begitu banyak.” Ia menambahkan bahwa para pemain saham sejati tidak hanya membeli di satu perusahaan, melainkan melakukan diversifikasi portofolio—misalnya 10 lembar di sini, 15 lembar di sana. “Dari situ nanti baru kelihatan mana yang untung dan mana yang buntung,” pungkasnya.

Setelah mendengar penjelasan panjang lebar, saya berpikir, “Pilih mana ya kira-kira?” Sahabat saya tersenyum, “Keduanya punya keunggulan dan kekurangan masing-masing. Tinggal bagaimana kita menyusun strategi investasi yang tepat untuk mencapai tujuan finansial.” Saya pun bersemangat, “Ya sudah. Ayo kita mulai!”

Namun, hingga hari ini, saya belum memulai investasi apa pun. Semua percakapan inspiratif itu masih menjadi cerita warung kopi yang manis.

You might also like