
HargaPer.com – Murah &Terbaik Murah &Terbaik – – Microsoft menghentikan peran insinyur berbasis di China dalam menangani layanan cloud untuk klien dari sektor pertahanan Amerika Serikat (AS).
Langkah ini diambil demi merespons kekhawatiran soal keamanan nasional dan risiko serangan siber.
Kebijakan ini diumumkan Jumat (12/7/2025) waktu setempat, tak lama setelah ProPublica merilis laporan panjang yang mengungkap ketergantungan Departemen Pertahanan AS terhadap insinyur Microsoft yang bekerja dari China.
“Menanggapi kekhawatiran yang muncul awal pekan ini tentang para insinyur asing yang diawasi AS, Microsoft telah membuat perubahan pada dukungan kami bagi pelanggan Pemerintah AS untuk memastikan bahwa tidak ada tim insinyur yang berbasis di China yang memberikan bantuan teknis untuk cloud Pemerintah Departemen Pertahanan dan layanan terkait,” tulis Kepala Komunikasi Microsoft, Frank Shaw, lewat unggahan di platform X.
Baca juga: Jadi Fondasi AI Dunia, Nilai Nvidia Lampaui Apple dan Microsoft
Keputusan ini berdampak langsung pada layanan cloud Microsoft, Azure, yang menjadi salah satu sumber pendapatan utama perusahaan.
Dilaporkan CNBC, Azure kini menyumbang lebih dari 25 persen pendapatan Microsoft. Nilainya lebih besar dari Google Cloud, tapi masih di bawah Amazon Web Services (AWS).
Dalam laporan kuartal terakhir, Microsoft mencatatkan pendapatan global sebesar 70 miliar dollar AS (sekitar Rp 1.142 triliun). Lebih dari separuhnya berasal dari pelanggan berbasis di AS, termasuk kontrak dengan pemerintah.
Microsoft pernah memenangi kontrak cloud senilai 10 miliar dollar AS (sekitar Rp 163 triliun) dari Departemen Pertahanan pada 2019.
Namun proyek itu dibatalkan pada 2021 akibat sengketa hukum. Setahun kemudian, Pentagon membagi kontrak senilai 9 miliar dollar AS (sekitar Rp 146,8 triliun) kepada empat perusahaan sekaligus: Amazon, Google, Oracle, dan Microsoft.
Baca juga: Microsoft Kembali Lakukan PHK, 9.000 Karyawan Terdampak
ProPublica melaporkan bahwa insinyur Azure di China selama ini bekerja di bawah pengawasan “pengawal digital” yang berbasis di AS.
Namun para pengawal ini dinilai tak memiliki kemampuan teknis yang setara, sehingga sistem menjadi rentan terhadap potensi serangan siber dari China.
“Ini jelas tidak dapat diterima, terutama dalam lingkungan ancaman digital saat ini,” kata Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth, dalam video yang diunggah ke X.
Ia menyebut sistem itu sebagai “peninggalan dari era Obama” yang sudah tak relevan dengan kondisi saat ini.
Ia menambahkan, Departemen Pertahanan sedang mengevaluasi sistem internal untuk memastikan tidak ada pengaturan serupa di bagian lain.
Menanggapi laporan tersebut, Microsoft menegaskan komitmennya menjaga keamanan layanan cloud yang digunakan pemerintah AS.
“Kami tetap berkomitmen untuk menyediakan layanan seaman mungkin bagi pemerintah AS, termasuk bekerja sama dengan mitra keamanan nasional kami untuk mengevaluasi dan menyesuaikan protokol keamanan kami sesuai kebutuhan,” tulis Shaw.