
HargaPer.com – Murah & Terbaik JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukkan pergerakan stagnan pada perdagangan sesi pertama Selasa (8/7), diselimuti kekhawatiran pasar yang mencuat terkait potensi kebijakan tarif tambahan dari Amerika Serikat (AS).
Berdasarkan data RTI, IHSG menutup sesi di level 6.900,601, hampir tidak berubah dari posisi pembukaan. Sepanjang sesi pagi, indeks sempat bergerak fluktuatif dan menunjukkan kecenderungan melemah, mencerminkan ketidakpastian di kalangan investor.
Dalam transaksi sesi tersebut, tercatat 276 saham menguat, 281 saham melemah, sementara 220 saham lainnya stagnan. Total volume perdagangan mencapai 9 miliar saham dengan nilai transaksi sebesar Rp 4,8 triliun, mengindikasikan aktivitas pasar yang cukup signifikan meskipun pergerakan indeks minim.
Pelemahan delapan dari sebelas indeks sektoral menjadi beban utama bagi pergerakan IHSG. Sektor-sektor yang mengalami penurunan terdalam meliputi IDX-Techno yang terkoreksi 0,59%, IDX-Finance yang merosot 0,57%, dan IDX-Cyclic yang menurun 0,45%.
Di antara saham-saham LQ45, beberapa nama mencatat kerugian signifikan:
Namun, tidak semua saham bergerak negatif. Beberapa saham LQ45 justru menunjukkan performa cemerlang sebagai top gainers:
Sentimen Tarif AS
Kondisi pasar saham Asia-Pasifik bergerak fluktuatif setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor baru yang akan diterapkan pada 14 negara mitra dagang utama, termasuk Indonesia. Pengumuman ini disampaikan melalui surat resmi yang dipublikasikan di platform Truth Social, memicu gelombang kekhawatiran di berbagai bursa regional.
Dalam surat tersebut, Trump secara spesifik menyatakan bahwa produk dari Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Kazakhstan, dan Tunisia akan dikenakan tarif sebesar 25% mulai 1 Agustus 2025. Sementara itu, negara-negara Asia lainnya juga terdampak dengan persentase yang bervariasi: Indonesia akan dikenakan tarif 32%, Bangladesh 35%, serta Kamboja dan Thailand masing-masing 36%. Bahkan, impor dari Laos dan Myanmar akan menghadapi tarif tertinggi, yaitu 40%, menandakan potensi dampak ekonomi yang signifikan.
Menariknya, di tengah pengumuman tersebut, sejumlah analis menyoroti bahwa beberapa negara besar seperti Taiwan, India, Filipina, Sri Lanka, dan Pakistan tidak masuk dalam daftar negara yang dikenakan tarif tambahan ini, menjadikan mereka destinasi investasi yang menarik.
“Negara-negara emerging market (EM) yang kemungkinan besar akan menyepakati kerangka kerja perdagangan dengan AS antara lain India dan Taiwan, serta mungkin Israel,” ujar ekonom Citi Research dalam catatan kilat mereka, Selasa (8/7), menunjukkan potensi pembentukan aliansi dagang baru.
Merespons pernyataan Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengenai potensi sekitar 100 surat tambahan untuk negara-negara dengan volume dagang kecil, para ekonom memprediksi bahwa negara-negara ini akan dikenakan tarif minimum sebesar 10%.
Analis Barclays menambahkan bahwa kemungkinan masih akan ada tambahan surat tarif dalam beberapa hari ke depan. Hal yang menjadi perhatian utama pasar adalah potensi revisi tarif yang lebih tinggi dari ekspektasi awal. “Jika tarif-tarif ini berlaku mulai 1 Agustus, maka akan menimbulkan risiko penurunan proyeksi PDB global. Namun, penetapan tenggat waktu baru ini juga memberi ruang untuk negosiasi lebih lanjut,” tulis Barclays dalam laporannya, menyiratkan adanya jendela peluang di tengah ancaman ekonomi.
Performa Bursa Asia
Melihat pergerakan di pasar regional, indeks Nikkei 225 Jepang mencatat kenaikan tipis 0,29%, sementara indeks Topix cenderung stagnan. Di Korea Selatan, optimisme terlihat dengan penguatan indeks Kospi sebesar 1,47% dan Kosdaq naik 0,46%.
Di daratan China, indeks CSI 300 bertambah 0,74%, dan Hang Seng di Hong Kong juga menguat 0,8%. Namun, tidak semua bursa menunjukkan tren positif; indeks S&P/ASX 200 Australia justru melemah 0,23% setelah bank sentral (RBA) secara mengejutkan memutuskan untuk menahan suku bunga acuan tetap di level 3,85%.
Adapun indeks acuan India, Nifty 50 dan BSE Sensex, tercatat nyaris tidak bergerak, menunjukkan kondisi yang relatif stabil di tengah gejolak pasar global yang dipicu oleh isu tarif AS.