![10 Kota Terbaik untuk Hiking: Brasil Juara! [Wajib Dikunjungi]](https://hargaper.com/wp-content/uploads/2025/06/2ef7193000f24ea1d60be12a7136ec94.jpg)
Dataran Tinggi Dieng di Wonosobo, Jawa Tengah, selalu berhasil memeluk pesona alam yang memukau, menjadikannya magnet abadi bagi para petualang. Dari keindahan matahari terbit yang memesona di Bukit Sikunir, kilauan magis Telaga Warna, hingga dinginnya udara yang menusuk tulang, Dieng menawarkan pengalaman tak terlupakan. Namun, di antara keajaiban itu, tersembunyi sebuah permata lain: Batu Pandang Ratapan Angin. Destinasi ini tak hanya menyuguhkan panorama alam yang menakjubkan, melainkan juga menyimpan erat sebuah kisah cinta yang berliku, penuh duka, dan menggetarkan jiwa.
Berada di ketinggian yang menawan, Batu Pandang Ratapan Angin menyajikan pemandangan spektakuler dua telaga kembar yang membentang elok: Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Dari titik ini, pengunjung seolah diajak berdialog langsung dengan cakrawala, menatap bentangan langit tanpa batas, dan meresapi kesunyian yang syahdu. Hembusan angin yang berdesir lembut di antara celah bebatuan besar di sana, seakan membawa bisikan lirih, mengisyaratkan ratapan duka dari sebuah kisah cinta yang kelam dan menyesatkan.
Nama “Batu Ratapan Angin” sendiri berasal dari formasi dua batu besar yang berdiri berdampingan di puncak bukit ini. Angin yang berhembus melintasi celah-celah batu seringkali menciptakan suara menyerupai ratapan atau tangisan, sebuah fenomena alam yang kemudian diyakini sebagai penjelmaan kesedihan abadi, sekaligus menjadi inspirasi di balik penamaannya.
Di balik kemegahan alamnya, Batu Pandang Ratapan Angin menyimpan sebuah legenda Dieng yang tragis, mengisahkan pudarnya kesetiaan. Konon, dahulu kala hiduplah sepasang pangeran dan permaisurinya yang bijaksana, memimpin rakyat dengan damai di tempat ini. Namun, kedamaian itu terusik saat seorang pemuda tampan datang dan berhasil memikat hati sang permaisuri, menumbuhkan benih cinta terlarang di antara keduanya. Ketika perselingkuhan ini sampai ke telinga sang pangeran, murkanya tak tertahankan. Dengan ilmu “angin puting beliung” yang dimilikinya, sang pangeran mengutuk istrinya menjadi batu dengan posisi tertunduk, sementara pemuda selingkuhan juga berubah menjadi batu yang berdiri tegak, tepat di sebelahnya.
Kedua formasi batu yang kini berdiri berdampingan di puncak bukit itulah yang diyakini sebagai jelmaan sepasang kekasih terlarang tersebut. Setiap hembusan angin yang menyapa kawasan ini, konon membawa serta ratapan kesedihan dan penyesalan abadi sang permaisuri. Mitos ini tak hanya menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung wisata Dieng, tetapi juga memperkaya pengalaman spiritual mereka di Batu Pandang Ratapan Angin.
Lebih dari sekadar destinasi “Instagramable” dengan panorama menakjubkan, Batu Pandang Ratapan Angin juga adalah simbol budaya dan cerminan kearifan lokal. Mitos tentang perselingkuhan, kutukan, dan ratapan abadi yang melekat pada tempat ini memberikan dimensi yang lebih dalam bagi setiap pengunjung. Saat melangkahkan kaki di sana, jangan hanya terpaku pada keindahan visual, namun luangkan waktu untuk merenungkan pelajaran moral yang tersirat dari kisah cinta terlarang ini, yang diharapkan dapat menjadi pengingat berharga bagi kita semua.
Pengalaman pribadi saat mengunjungi destinasi wisata Dieng ini bersama keluarga besar SMP N 2 Cibadak adalah sebuah perasaan takjub yang tak terlukiskan. Dari ketinggian Batu Pandang Ratapan Angin, kedua telaga membentang elok, memanjakan mata dengan hamparan hijau pepohonan dan kilauan air yang memesona. Setiap langkah menapaki anak tangga demi anak tangga terasa terbayar lunas oleh keindahan pemandangan yang tersaji, mengubah rasa lelah menjadi rasa syukur dan kekaguman.
Oleh karena itu, jika suatu hari Anda berkesempatan mengunjungi Batu Pandang Ratapan Angin, luangkanlah waktu sejenak untuk duduk, merasakan desir angin yang membelai wajah, dan bertanya pada hati nurani: apakah Anda datang untuk menikmati keagungan langit, atau justru untuk meratapi sesuatu yang mungkin belum sepenuhnya terlepaskan dari sanubari?
Cibadak, 18 Juni 2025