Free Float Saham Naik: Untung atau Buntung Investor? Cek Dulu!

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang menyiapkan aturan baru yang berpotensi mengubah wajah pasar modal Indonesia, yaitu mengenai peningkatan porsi kepemilikan saham publik atau yang dikenal dengan istilah free float. Langkah ini dipandang sebagai upaya untuk memperdalam pasar dan meningkatkan likuiditas perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Saat ini, ambang batas minimum free float adalah 7,5%. Namun, dalam waktu dekat, OJK berencana menaikkannya menjadi 10%. Bahkan, OJK memiliki target ambisius untuk meningkatkan free float secara bertahap hingga mencapai 25%. Kebijakan ini tentu membawa angin segar, namun juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan emiten dan investor.

Reydi Octa, seorang pengamat pasar modal, melihat rencana ini dari dua sisi mata uang. Menurutnya, kenaikan minimum free float hingga mencapai 25% akan meningkatkan likuiditas pasar secara signifikan. Hal ini juga berpotensi mengurangi kepemilikan saham yang terkonsentrasi, sehingga data likuiditas pasar akan lebih mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Selain itu, peluang bagi emiten untuk masuk ke dalam berbagai indeks juga akan semakin terbuka lebar, mengingat selama ini banyak emiten terhambat karena masalah free float yang rendah atau tidak likuid.

“Peluang terjadinya manipulasi saham akibat likuiditas yang kecil akan berkurang, sehingga lebih menguntungkan investor,” ujar Reydi kepada Kontan, Senin (17/11/2025).

Namun, Reydi juga mengingatkan bahwa kebijakan ini bukan tanpa risiko. Emiten dengan kepemilikan yang terkonsentrasi harus melepas sebagian besar saham mereka ke publik. Hal ini berpotensi menciptakan tekanan jual yang signifikan dan dapat menekan harga saham di pasar.

Lebih lanjut, Reydi berpendapat bahwa beberapa emiten yang ingin dikuasai oleh pengendali atau konsorsium tertentu mungkin akan kehilangan kontrol atas sahamnya. “Hal ini dapat menyebabkan saham yang selama ini naik karena dikendalikan pemilik saham pengendali akan terkoreksi harganya dan akan jadi sulit untuk terus mengendalikan harganya,” jelas Reydi.

Dampak kenaikan free float akan bervariasi pada setiap emiten, tergantung pada kondisi keuangan dan struktur kepemilikannya. Reydi memberikan contoh, jika sebuah emiten memiliki kapitalisasi pasar Rp 100 triliun, maka peningkatan free float dari 10% (Rp 10 triliun) menjadi 25% (Rp 25 triliun), dengan asumsi harga tetap, akan menambah pasokan saham sekitar Rp 15 triliun ke publik. Meskipun demikian, ia menekankan bahwa proses penyesuaian ini akan dilakukan secara bertahap, sehingga perhitungan tersebut tidak bisa dianggap sebagai patokan yang kaku.

Lantas, apakah pasar mampu menyerap tambahan pasokan saham tersebut? Reydi meyakini bahwa pasar domestik cukup kuat untuk menampungnya. Saat ini, investor lokal mendominasi perdagangan di IHSG, dan dana kelolaan domestik berpotensi menyerap lebih banyak saham, terutama jika pilihan saham likuid semakin beragam.

Ke depannya, Reydi optimis bahwa prospek pasar dengan batasan free float baru akan lebih positif. Indeks-indeks di BEI akan semakin merepresentasikan kondisi pasar yang sesungguhnya, tidak lagi didominasi oleh saham-saham dengan free float kecil namun memiliki kapitalisasi pasar yang besar. Selain itu, minat investor asing juga diperkirakan akan meningkat karena IHSG akan dinilai lebih likuid dan kredibel di mata investor global. Dalam jangka pendek, potensi rebalancing besar-besaran dari saham dengan likuiditas rendah ke saham dengan likuiditas tinggi sangat mungkin terjadi.

Saran untuk Investor

Menanggapi perubahan ini, Reydi menyarankan agar investor berhati-hati dan menghindari saham dengan free float yang terlalu kecil, karena berpotensi mengalami tekanan harga akibat distribusi kepemilikan saham ke pasar.

“Hindari rawan koreksi untuk saham dengan free float kurang dari 10%. Tetap fokus pada saham yang diuntungkan dengan likuiditas yang besar, saham yang berpeluang masuk indeks atau yang free float-nya sudah hampir memenuhi syarat sehingga dampak penekan harganya minim,” imbuh Reydi.

Sebelumnya, OJK telah menyampaikan bahwa peningkatan free float menjadi salah satu fokus utama mereka pada tahun 2026. Kepala Eksekutif Pasar Modal, Derivatif Keuangan dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi, menjelaskan bahwa peningkatan free float adalah bagian dari upaya pendalaman pasar. Menurutnya, ketentuan minimal free float saat ini, yaitu 7,5%, masih berada di bawah rata-rata regional, dan hal ini perlu ditingkatkan secara bertahap untuk mencapai target 25%.

“Target kami memang 25%, tetapi tidak mungkin langsung karena konsekuensinya cukup banyak. Jadi akan kami lakukan secara bertahap,” kata Inarno dalam sebuah acara media gathering di Ubud, Bali, Sabtu (15/11/2025).

You might also like