
HargaPer.com – Murah &Terbaik – , Jakarta – Pelemahan daya beli kelompok menengah atas, yang telah berlangsung sejak tahun 2024, kini menekan konsumsi agregat nasional secara signifikan. Chief Economist Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas), Dzulfian Syafrian, pada Sabtu, 2 Agustus 2025, mengungkapkan bahwa kelompok masyarakat terkaya, yang selama ini menjadi penggerak utama konsumsi, mulai mengurangi pengeluaran. Padahal, kelompok ini menguasai lebih dari separuh total konsumsi nasional.
Dzulfian menegaskan bahwa penurunan konsumsi agregat – total pengeluaran rumah tangga untuk barang dan jasa – akan terus berlanjut jika daya beli kelompok atas tidak segera pulih. Dampak pelemahan ini meluas ke berbagai sektor dan wilayah, menyebabkan perlambatan aktivitas ekonomi secara keseluruhan.
Lebih lanjut, Dzulfian menjelaskan bahwa merosotnya daya beli turut memicu penurunan permintaan kredit dan perlambatan pertumbuhan simpanan di perbankan. Fenomena ini terjadi di tengah meningkatnya biaya dana dan tantangan ekspansi kredit yang kian berat.
Perbanas telah mengkaji gejala tersebut secara mendalam melalui data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2024, yang dipaparkan dalam laporan Perbanas Review of Indonesia’s Mid-Year Economy (PRIME) 2025. Kajian ini merupakan bagian dari seminar bertajuk “Navigating Economic Headwinds: Responding to Weakening Consumption.”
Meskipun konsumsi kelompok menengah bawah cenderung stabil, Dzulfian menilai bahwa kontribusinya belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan karena efek penggandanya relatif kecil. Oleh karena itu, ia merekomendasikan stabilisasi ekspektasi publik melalui kejelasan arah kebijakan fiskal-moneter dan penetapan suku bunga yang kredibel.
Selain itu, Dzulfian menyarankan agar bantuan pemerintah diintegrasikan dengan program-program produktif, khususnya yang ditujukan untuk kelompok berpendapatan rendah. Ia juga mendorong penguatan permintaan domestik dengan meningkatkan mobilitas ekonomi di kalangan masyarakat kelas bawah. Menurutnya, hal ini perlu didukung dengan integrasi data pengeluaran, utang, dan tabungan masyarakat ke dalam sistem statistik nasional.
Fenomena pelemahan konsumsi ini juga tercermin dalam istilah populer di media sosial: “rojali” (rombongan jarang beli) dan “rohana” (rombongan hanya nanya). Kedua istilah ini mengindikasikan perubahan perilaku konsumsi masyarakat sebagai dampak dari penurunan daya beli.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Anne Patricia Sutanto, bahkan memperkenalkan istilah baru, yakni “robeli” (rombongan benar-benar beli). Ia menekankan urgensi daya saing produk domestik sebagai kunci untuk mendorong konsumsi, agar masyarakat tidak lagi menjadi “rohana-rojali”, melainkan “robeli” atau rombongan yang benar-benar membeli.
Meski demikian, Analis Kebijakan Ekonomi Apindo, Ajib Hamdani, menyatakan optimisme bahwa gejala rojali-rohana akan mereda seiring dengan pemulihan daya beli dan pertumbuhan ekonomi. “Rojali dan rohana ini nanti dengan sendirinya mulai hilang dan mulai berbelanja saat kemampuan daya beli mereka naik, dan pertumbuhan ekonomi kita bisa bertumbuh sesuai dengan harapan,” ujar Ajib dalam konferensi pers di kantor Apindo, Jakarta, pada Selasa, 29 Juli 2025.
Senada dengan pandangan tersebut, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, pada Ahad, 27 Juli 2025, menilai bahwa fenomena rojali-rohana menunjukkan perilaku masyarakat yang mulai memilah belanja karena keterbatasan uang. Ia menegaskan, “Hal ini juga bisa terjadi karena penurunan daya beli.”
Sebelumnya, Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) telah mengusulkan penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) sebagai solusi untuk mengatasi fenomena pelemahan konsumsi ini. Ketua Umum APPBI, Alphonsus Widjaja, pada Rabu, 23 Juli 2025, menyatakan, “Faktor masalah daya beli ini sudah terjadi cukup lama sejak 2024. Jadi stimulus ataupun insentif yang diberikan oleh pemerintah itu harus yang sifatnya langsung.”
Alphonsus menjelaskan bahwa penurunan konsumsi di masyarakat kelas menengah atas dipengaruhi oleh sikap kehati-hatian dalam berbelanja, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi global. Di sisi lain, masyarakat kelas menengah bawah juga mulai menahan konsumsi mereka.
Meskipun demikian, Alphonsus mencatat bahwa kunjungan ke pusat belanja tetap menunjukkan pertumbuhan, meskipun tidak signifikan. Ia memperkirakan pertumbuhan kunjungan sekitar 10 persen, masih jauh di bawah target tahun lalu sebesar 20-30 persen.
Ia menambahkan bahwa tanda-tanda “rojali” sudah mulai terlihat sejak Ramadan 2024 dan semakin terasa pasca-Idul Fitri, yang seharusnya menjadi momen puncak penjualan ritel. “Sebab, Ramadan dan Idul Fitri-nya maju. Itulah juga salah satu faktor yang menambah intensitas jumlah rojali,” ujarnya. Alphonsus juga mengonfirmasi bahwa fenomena ini berdampak langsung pada penurunan omzet ritel, di mana masyarakat kelas menengah bawah cenderung membeli produk dengan harga satuan yang lebih murah.
Ananda Ridho Sulistya, Michelle Gabriela, Amira Nada, Yolanda Agne, dan Alfitria Nefi P. berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Argo Bromo Anggrek Anjlok, 9 Kereta Surabaya-Jakarta Dibatalkan