
Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan belum mendapatkan penjelasan resmi mengenai rencana skema burden sharing antara Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Skema pembagian beban ini digadang-gadang akan mengurangi beban pembiayaan sejumlah program prioritas yang diusung Presiden Prabowo Subianto, namun informasi tersebut masih menjadi pertanyaan di kalangan legislator.
Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Mohamad Hekal, menegaskan bahwa belum ada pembicaraan formal antara komisi yang membidangi sektor keuangan itu dengan BI maupun Kemenkeu. “Saya baru baca itu di media juga, kami belum dapet penjelasan resminya,” ungkap Hekal usai rapat di gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada Rabu, 3 September 2025. Hekal menambahkan bahwa dirinya berencana untuk menanyakan langsung perihal burden sharing ini saat pertemuan berikutnya dengan kedua lembaga tersebut, sembari menunggu klarifikasi dari pihak terkait.
Senada dengan Hekal, Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Dolfie Othniel Palit, juga menyatakan bahwa mekanisme burden sharing secara spesifik belum pernah dibahas di Komisi XI DPR. “Istilahnya bukan burden sharing ya. Kalau burden sharing belum. Belum pernah dibahas juga di Komisi XI DPR,” ujarnya. Kendati demikian, Dolfie menjelaskan bahwa BI memang memiliki peran signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada sektor-sektor strategis, khususnya untuk pembukaan lapangan kerja. Salah satu instrumen yang digunakan BI untuk mendukung program pemerintah adalah melalui kebijakan giro wajib minimum (GWM).
Melalui GWM, BI mendorong perbankan untuk menyalurkan kredit ke sektor-sektor prioritas pemerintah, seperti perumahan rakyat. Insentif yang diberikan BI adalah dengan menurunkan GWM bagi bank-bank yang berhasil menyalurkan kredit ke sektor-sektor tersebut, yang pada gilirannya memberikan kelonggaran likuiditas tambahan bagi perbankan. Mekanisme ini berbeda dengan konsep burden sharing yang kini mencuat, yang menyiratkan pembagian beban bunga secara langsung.
Rencana burden sharing ini pertama kali diungkap oleh Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam rapat kerja daring bersama DPD RI pada Selasa, 2 September 2025. Dalam skema tersebut, BI akan membeli Surat Berharga Negara (SBN) dari pasar sekunder. Sebagian dari dana hasil pembelian SBN itu kemudian dialokasikan oleh Kemenkeu untuk membiayai program-program strategis seperti perumahan rakyat dan Koperasi Desa Merah Putih.
Perry Warjiyo menjelaskan bahwa “Dengan burden sharing atau pembagian beban bunga yang tentu saja bersama BI dan Kemenkeu, dan karenanya akan mengurangi beban pembiayaan dari program-program untuk ekonomi kerakyatan dalam program Asta Cita.” Ia menambahkan bahwa BI dan Kemenkeu telah menyepakati pembagian beban bunga SBN melalui mekanisme ini, di mana masing-masing pihak akan menanggung setengahnya. Sebagai contoh, untuk pendanaan perumahan rakyat, beban efektif yang ditanggung masing-masing pihak adalah sebesar 2,9 persen, sementara untuk Koperasi Desa Merah Putih, bunga efektifnya mencapai 2,15 persen.
Perhitungan pembagian beban ini didasarkan pada bunga SBN 10 tahun yang dikurangi dengan hasil penempatan pemerintah di perbankan, kemudian sisa bunga tersebut dibagi dua. Perry menegaskan komitmen BI untuk bersinergi dan berkolaborasi erat dengan kebijakan pemerintah dalam mendukung program Asta Cita, menjaga stabilitas ekonomi, dan secara berkelanjutan mendorong pertumbuhan ekonomi demi terciptanya ekonomi kerakyatan dan terwujudnya Indonesia maju.