Hak Muslimah Dipertanyakan: Gugatan dan Realita yang Terjadi?

Film “Perempuan Berkalung Sorban” (2009) hadir sebagai sebuah karya sinema yang berani, mendobrak tradisi konservatif yang mengakar kuat di lingkungan pesantren. Diadaptasi dari novel berjudul sama karya Abidah El Jhalieqy, naskah film ini disulihwahkan oleh Gina S. Noer dan disutradarai oleh nama besar Hanung Bramantyo. Film ini turut diperkuat oleh deretan aktor dan aktris papan atas seperti Revalina S. Temat, Joshua Pandelaki, Widyawati, Nasya Abigail, Reza Rahardian, Ida Leman, dan Oka Antara, yang masing-masing berhasil menghidupkan karakter kompleks di dalamnya.

Dirilis di bioskop pada 15 Januari 2009, film berdurasi 129 menit ini mengusung genre drama romantis dengan latar belakang Islami yang begitu kental. Keunikan lain dari film ini terletak pada penggunaan dialog dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Indonesia, Jawa, dan Arab, yang semakin memperkaya nuansa autentik ceritanya.

Latar belakang utama film ini adalah sebuah pesantren di Jawa Timur yang sangat konservatif. Institusi pendidikan Islam tersebut digambarkan begitu teguh dalam mempertahankan tradisi kuno, bahkan cenderung anti terhadap segala hal yang berbau modernisasi, menciptakan sebuah kontras yang tajam dengan semangat perubahan.

Dalam alur ceritanya yang menarik dan penuh konflik, film ini menyoroti perjuangan seorang perempuan yang berani menentang norma-norma patriarki, sehingga tak heran jika kisahnya mendapat dukungan kuat dari berbagai kalangan, khususnya kaum feminis.

Fokus utama film ini adalah kisah Anissa (diperankan secara memukau oleh Revalina S. Temat), seorang perempuan cerdas, berani, dan berpendirian kuat. Dibesarkan di lingkungan pesantren yang ketat dengan tradisi konservatif di Jawa Timur, Anissa lahir dari keluarga seorang Kyai terpandang yang memimpin pesantren tersebut.

Lingkungan tersebut menanamkan keyakinan bahwa seorang perempuan wajib tunduk kepada pria, sebuah pandangan yang ditentang keras oleh Anissa. Dengan mental pemberontak yang dimilikinya, Anissa merasa posisi perempuan tak lebih dari warga kelas dua. Namun, setiap protes dan gagasan perubahannya selalu dipandang sebelah mata, dianggap tak lebih dari celotehan anak kecil yang belum memahami dunia.

Di tengah keterasingannya, hanya seorang pria yang masih kerabat ibunya, Khudori (diperankan oleh Oka Antara), yang mampu memahami pemberontakan jiwa Anissa. Kedekatan emosional ini perlahan menumbuhkan benih-benih cinta di hati Anissa untuk Khudori.

Sayangnya, Khudori justru memilih untuk menghindari perasaan tersebut karena ia merasa memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan Anissa, meskipun tidak sedarah, menjadikannya tabu untuk menjadi pasangan suami istri.

Untuk menjauhkan diri dari Anissa, Khudori memutuskan untuk melanjutkan studi ke Mesir. Kepergian Khudori memicu keputusan drastis bagi Anissa; tanpa seizin orangtuanya, ia diam-diam mendaftar kuliah di Yogyakarta dan berhasil diterima.

Keputusan ini sontak ditentang keras oleh ayahnya, Kyai Hanan (Joshua Pandelaki), yang berpandangan bahwa tidak pantas bagi seorang gadis lajang berada di tempat asing jauh dari keluarga. Namun, Anissa, dengan keteguhan hatinya, tidak gentar dan mendebat pemikiran ayahnya dengan argumen-argumen yang kuat.

Sebagai konsekuensi atas pembangkangannya, Anissa dipaksa untuk menikah dengan Samsudin (Reza Rahardian), putra seorang Kyai lain, meskipun ia menolak keras perjodohan tersebut pada awalnya.

Ayahnya tetap bersikeras untuk menikahkan keduanya. Pernikahan tanpa landasan cinta ini pada akhirnya berujung tragis, dirusak oleh perilaku Samsudin yang sering melakukan KDRT dan kemudian menikah lagi dengan Kalsum (Francine Roosenda).

Tak tahan dengan kondisi tersebut, Anissa akhirnya berani meminta cerai dan memilih untuk hidup mandiri. Dalam perjalanan hidup barunya, takdir mempertemukannya kembali dengan Khudori, membangkitkan kembali “Cinta Lama Bersemi Kembali” (CLBK) di antara mereka. Sejak saat itu, Anissa semakin aktif membela hak-hak perempuan Muslim, meskipun keputusannya ini seringkali bertentangan dengan pandangan dan tradisi keluarganya.

Akankah Anissa dan Khudori akhirnya bersatu sebagai pasangan suami istri? Bagaimana akhir dari perjuangan Anissa melawan ketidakadilan dan diskriminasi? Mampukah ia meruntuhkan tradisi konservatif yang begitu mengakar kuat di pesantren ayahnya?

Untuk menemukan jawaban atas semua pertanyaan tersebut dan menyaksikan sendiri upaya heroik Anissa dalam membela hak-hak perempuan, saksikanlah akhir cerita film ini di laman streaming pilihan Anda.

Film ini patut dicerna dengan pemikiran terbuka atau open-minded. Dengan begitu, penonton diharapkan dapat menerima perubahan, dan tidak hanya setia pada tradisi atau kebiasaan yang sudah mengakar kuat, melainkan juga berani mempertanyakan dan mencari keadilan.

Saksikanlah film ini bukan hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai sebuah renungan religi yang dapat mendorong peningkatan keimanan kita secara lebih adaptif dan terbuka terhadap interpretasi yang lebih luas tentang ajaran agama.

You might also like